32#

42 9 2
                                    

Suasana jalan masih nampak sepi, embun pagi pun belom lagi hilang.  Dedaunan jejeran pohon rindang terlihat bergerumbul menutupi jalan.
Bela memeluk dirinya sendiri, agar angin pagi tidak menyusup ke dalam tubuhnya. Berulang kali ia menggosok-gosok telapak tangannya dan menempelkan di wajahnya, agar pipinya terasa hangat.

Lain dengan Bela yang merasa kedinginan, gadis di sebelah Bela justru nampak biasa saja. Ia malah menikmati suasana di sekitarnya.

Bela dan Nana saat ini tengah berada di sebuah jalan tak jauh dari SMA Victorian. Semalam, Bela menginap di rumah Nana karena ia masih malas untuk kembali ke rumah. Ini pengalaman pertama bagi Bela, pergi ke sekolah sepagi ini. Biasanya di jam seperti ini Bela masih berada dalam selimut hangatnya.

Hari ini pun Nana tidak berangkat bersama Kia seperti biasanya, karena Kia sedang sakit.

Nana memutuskan untuk menaiki angkutan umum. Hal ini membuat Bela terpaksa juga mengikuti, pasalnya ia tak membawa mobil saat menginap di rumah Nana. Mobilnya ia tinggalkan di rumah Kia. Angkutan umum hanya bisa mengantar di jalan raya utama, sebab itu Bela dan Nana meneruskan dengan berjalan kaki.

“Kia sakit mulu, heran gue!” kata Bela.

“Sakit aja pake heran lo!” timpal Nana.

“Yaa kalik aja jangan-jangan si Kia nggak sakit, tapi memang lagi males sekolah. Kan kita belum liat keadaan aslinya.”

“Su'udzon mulu lo!”
Bela hanya nyengir menanggapi Nana. Mereka kembali meneruskan perjalanannya.

“Gila sih, ini dingin banget. Lo gak kedinginan apa?” tanya Bela keheranan. Dilihatnya sahabatmya itu terlihat biasa saja sejak tadi.

“Enggak tuh, sejuk malahan.”

“Beuh, gue yakin kulit lo terbuat dari kuliat Buaya.”

“Ngadi-ngadi, Bel!”

Bela menatap jalan di depannya sejenak, dan kembali menatap Nana.

“Naa, semalem itu serem elah. Horor banget suasananya, hih!

Nana terkekeh mendengar perkataan Bela. Semalam memang terjadi pemadaman listrik, karena ujan deras yang melanda. Bela mengaku mendengar suara atau bahkan melihat sesuatu yang menyeramkan.  Tentu saja itu hanya Halusinasinya saja.

“Parno sih lo!”

“Ihh, gue serius tau. Gue merinding,  apalagi gue keinget cerita lo. Tentang ortu lo dulu itu,” tutur Bela.

Nana hanya tersenyum mendengarnya.

“Koq lo bisa sih, berani sendirian?”

“Gue dah biasa, Bel.”

Bela mengangguk pelan. Mereka terus berjalan hingga akhirnya sampai di gerbang sekolah. Bela dan Nana masuk dan berjalan menuju kelasnya. Belum sampai tujuan, keduanya terhenti di tengah lapangan sekolah. Bela dan Nana memperhatikan seorang pria yang berada di bawah pohon di sisi lapangan. Ia berbaring beralas kedua tangannya.

“Tuh Arka kenapa?” tanya Bela heran.
“Kayak gak punya semangat idup eh,  haha.”

Nana ikut memerhatikan. Arka masih terdiam, sambil menatap ke atas.

“Frustasi kalik ya,” celtuk Bela.

“Karena Vera kemarin?”

“Yoi lah!”

“Parah sih,  kemarin Vera marah besar banget sama Arka. Gila, sampe Arka diem gak dikasih kesempatan ngomong apa-apa. Menurut lo? Itu yang kemaren chat Vera Arka bukan, Naa?”
Nana mengangkat bahunya.

The Sisterhood {SEDANG REVISI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang