Bela duduk termenung di kursi taman. Matanya memandang ke arah sekumpulan anak-anak kecil yang tengah bermain dengan riang. Wajah mereka terlihat sangat ceria tanpa ada masalah sedikit pun.
Bela kembali teringat masa kecilnya dulu. Sepi, dan selalu merasa sendiri. Meskipun berasal dari keluarga kaya itu tak serta merta membuatnya bahagia. Sepanjang harinya ia selalu merasa kesepian. Saat kecil Bela tak banyak memiliki teman di sekolah, ia lebih suka menyendiri. Bela tak suka bergaul, menurutnya tak ada satu pun di antara teman-temannya itu yang akan mengerti perasaanya.
Ia bersyukur karena bertemu dengan sahabat-sahabatnya yang sekarang. Orang-orang yang dapat mengerti dirinya, membantunya melupakan masalahnya dan menghilangkan kesepiannya.
“Hem.” Suara berat yang terdengar itu sontak membuat Bela menoleh. Mood-nya kembali hancur. Mengapa ia datang saat Bela sedang mengenang masa lalunya.
Bela hanya terdiam seribu bahasa. Matanya lurus ke depan. Defano mendudukkan dirinya di samping Bela. Matanya ikut menyorot lurus ke depan. Sesekali ia melirik Bela yang masih terpaku.
“Lo kenapa sih, Bel? Ngehindar mulu dari gue.”
Bela masih bergeming tanpa suara. Ia tak memperdulikan kehadiran Defano di sampingnya. Bagi bela Defano adalah orang di masa lalunya dan akan terus seperti itu. Meski begitu bukan berarti ia sudah berhasil melupakan masa lalunya itu.
“Kenapa lo bisa semarah ini sama gue? Jelasin Bel. Gue mau tau kesalahan gue.”
Bela masih setia dengan kesunyiannya. Bibirnya sama sekali tak bergerak untuk menjawab Defano.
“Oke. Lo gak nyaman gue ada di sini?”
“Gue bakal pergi, sekarang. Tapi gue gak bakal berhenti. Gue bakal datang lagi.” Defano bangkit lalu meninggalkan Bela.
Bela menoleh melihat kepergian Defano, lalu menunduk. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia tak suka seperti ini. Ia tak suka menjadi lemah ataupun terlihat lemah. Defano adalah salah satu orang di masa lalunya yang menjadikan dirinya lemah.
Bela mengusap air matanya yang menetes. “Gue kenapa sih? Nangisin apa? Koq gajelas banget. Lebayy! Gelaay banget!” monolognya. Bela mengerucutkan bibirnya sambil terus mengusap air matanya. Teringat sudah masa lalunya saat bersama Defano.
Defano ia dulunya adalah sahabat terbaik Bela. Ya, sahabat. Bela banyak menghabiskan waktu bersama Defano saat masa SMP-nya. Selain Sisterhood, Defano juga sahabatnya.
Tapi itu dulu, sekarang tidak lagi. Bela tak pernah lupa akan ucapan sahabatnya yang lain melihat kedekatan Bela dengan Defano. Siho selalu menasihati Bela agar tidak terlalu dekat dengan Defano. Terutama Kia dan Nana, kedua sahabatnya yang ini memang sudah bawel sejak dulunya. Apalagi terhadap kedekatannya dengan Defano.
Gapapa temenan, asal jangan berlebihan. Inget Bel, dia itu cowok!
Jangan terlalu deket Bel, dia juga gak ada hubungan darah kan sama lo! Kalo dia macem-macem gimana?
Ya bukannya su'udzon sih, cuman jaga-jaga aja gitu.Sampai sekarang masih Bela masih mengingat ucapan kedua sahabatnya itu. Bela memang merasa bahwa sahabatnya ini sedikit berlebihan dan terlalu negatif thingking. Tapi Bela tau, mereka begitu karena khawatir saja terhadap dirinya.
Hal yang paling bodoh bagi Bela dalam hidupnya. Ketika ia justru terjebak dalam hubungan yang ia buat sendiri. Mencintai sahabatnya—Defano.
Bela tak mengerti apa yang ada dalam otaknya hingga ia bisa berfikir menyukai Defano. Namun, ia tak bisa menepikan perasaannya. Ia benar-benar telah memendam rasa terhadap sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sisterhood {SEDANG REVISI}
Teen Fiction⚠️14+ {BELUM REVISI} ON GOING Tidak open feedback ya :) Jika kalian suka ceritanya silahkan divote, tapi harus baca dulu sebelum vote. saya tidak memaksa untuk Vt+Cm, tapi jika mau melakukannya terimakasih, karna itu membuat saya semangat😊 SISTERHO...