54#

25 5 0
                                    

Vivi berjalan seorang diri di pinggir jalan. Sesekali ia menendang kerikil yang menghalangi langkah kakinya. Vivi berhenti, memandang ke atas langit.

"Ya Allah, koq rasanya hampa gini sih," ujar Vivi. Kondisi area sekitar saat itu tengah sepi, jadi tak ada orang-orang yang melihat tingkah gadis ini. Syukurlah.
Vivi kembali melangkah. Wajahnya terlihat begitu murung. Apa gue balik ke rumah aja ya?

Sejujurnya Vivi merindukan rumahnya, meskipun ia tau tidak ada juga yang mengharapkannya di sana. Tapi bagaimanapun, rumah tetaplah rumah. Sesuatu yang akan ia rindukan ketika tengah jauh. Tapi mau tarok mana muka gue? Belum lagi bakal dikata-katain juga. Ternyata hidup gue sesuram itu ya.

Vivi membayangkan keadaan Riri yang dulunya kesayangan ibunya tapi kini ibunya malah menjauh darinya. Lalu, apa kabar dengan Vivi yang memang tidak pernah menjadi kesayangan kedua orangtuanya. Bukan hanya menjauh, mungkin orangtuanya akan pura-pura tidak melihat saat bertemu dengan dirinya.

Sudahlah, mari kita hibur diri dengan makan seblak mang Asep.

Tiiinn!

"Huwaaa!" Vivi terlonjak kaget mendengar suara klakson yang begitu keras. Seseorang  terkikik melihat reaksi Vivi.

"Sialan lo ya!" bentak Vivi. Gio masih terkikik di atas motornya. Brakk!
Vivi menendang ban motor Gio.

"Wehh jangan kasar-kasar sama motor kesayangan gue!"

"Nih rasain nih, gue rusakin motor lo," ujar Vivi sambil menendang-nendang motor Gio. Setelah itu Vivi kembali berjalan menuju tempat tujuannya. Gio masih cekikikan di atas motornya. Untung motor gue udah didesain husus tahan amukan singa betina

"Mang mau seblak, yang kayak biasanya ya."

"Okee, Neng!" jawab pria yang dikenal sebagai Mang Asep itu.

"Saya juga, Mang!" saut Gio. Turun dari sepeda motornya dan duduk berhadapan dengan Vivi.

"Mas-nya sekarang koq jadi ke sini? Bukannya langganan mas rival bisnis saya di sebrang sono ya," ujar mang Asep menyindir.

"Yaelah gitu amat. Lagian saya gak sering-sering amat beli di sana koq, ya nggak?" Gio menoleh ke arah Vivi. Namun kenyataannya gadis itu tidak merespon apapun, matanya lurus ke arah jalan. Diriku terkacangi....

"Pedas?"

"Yang sedang aja, Mang. Jangan pedes-pedes!"

Setelah beberapa menit, mang Asep membawakan 2 porsi seblak untuk Go dan Vivi. "Silahkan dinikmati," ujar mang Asep. Tanpa basa-basi Gio langsung menyantap seblaknya. Sementara Vivi masih setia dengan lamunannya.

Gak bisa diharapkan!

Mau bikin saya malu kamu?

Apa yang berguna dari diri kamu?

Perkataan yang mungkin sudah bosan terdengar ditelinga Vivi.

"Lo kenapa?" tegur Gio. Tak ada jawaban dari Vivi. "Sawan lo ya?"

Gio menyentuh pergelangan tangan Vivi. Sontak gadis itu tersadar. Ia mengambil uang dari sakunya dan meletakkan di atas meja. Vivi langsung pergi dari sana.

"Eh, Neng seblaknya belum dimakan loh."

"Bungkus aja, Mang. Buat saya hehe!"

Vivi mendudukkan bokongnya di sebuah halte. Pikirannya kembali melayang jauh. Sepi dan merasa sendiri. Sejenak mungkin ia bisa melupakan rasa itu jika bersama para sahabatnya. Tapi tetap saja, perasaan itu akan kembali muncul. Dulu Vivi meninggalkan rumahnya dengan penuh keyakinan, namun sekarang ia justru sangat merindukan rumah itu. Ia juga merindukan keluarganya. Sebagai manusia kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan di keluarga yang mana dan di keluarga seperti apa. Sudah belasan tahun Vivi tinggal bersama mereka, seperti apapun sikapnya mereka tetaplah keluarga Vivi. Terkadang Vivi merasa memang dirinyalah yang salah karna tidak bisa menjadi kebanggaan orangtuanya.

The Sisterhood {SEDANG REVISI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang