Cinta?

54 9 54
                                    

Lampu-lampu jalan mulai redup

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lampu-lampu jalan mulai redup. Cahaya mentari tak begitu lama bertengger di angkasa bebas. Angin terasa mulai menjalar di sekujur permukaan kulit. Gadis berambut sebahu itu berjalan cepat, kabar menghilang teman satu sekolahnya membuatnya takut, apalagi dia tahu kalau saat ini dia masih menjadi incaran seseorang.

Rani mempercepat langkah kakinya. Ah, sial, bagaimana bisa dia lupa membawa handpone? Kalau saja Tio pulang dan tidak menemukan keponakannya di dalam rumah, dia pasti marah besar. "Gue harus segera pulang."

Langkah kaki yang cepat berganti dengan lari, kalau bukan karena Momo, mana mau dia keluar sendirian seperti ini. Ntahlah, suasana di luar ini begitu mencekam.

Brak!

"Awhh...."

Gadis berambut sebahu itu terjatuh, Rani merintih, sakit. Tangan kirinya tanpa sengaja menekan benda kecil yang cukup tajam, pecahan kaca. Darah perlahan-lahan mulai keluar dari telapak tangannya.

"Mbak, m-maaf."

Seorang lelaki yang tidak sengaja menabrak Rani itu membantunya untuk berdiri. Secepat mungkin dia mengeluarkan kotak P3K dari dalam tas yang selalu dia bawa kemana-mana. "Mbak gapapa? G-gue bener-bener minta ma──Rani?"

"Pangeran?"

Pangeran menarik tangan Rani, membawanya sedikit menjauh dari tempat kejadian. Kebetulan sekali di pinggir jalan ini ada tempat duduk, Pangeran meminta Rani untuk duduk, sementara dia berjongkok untuk mengobati luka teman satu kelasnya itu. "Ya ampun Ran, maaf ya. Gue gak liat lo tadi," ucap Pangeran seraya membersihkan luka Rani.

"Parah lo, perasaan tubuh gue gak kecil-kecil amat, dah. Bisa-bisanya gak liat orang lagi lari."

"Justru itu, lo larinya gak hati-hati, makanya nabrak. Di sini kita sama-sama nabrak, ya. Bukan gue doang yang nabrak lo."

Rani menekuk wajahnya. "Iya iya," pandangannya beralih menatap Pangeran, bagaimana lelaki itu mengobati lukanya dengan sangat hati-hati. Ujung bibir Rani terangkat, dia tersenyum. "Gemes."

Pangeran mendongak, memperhatikan insan di hadapannya. "Ha? Gue gemes? Makasih."

"Dih, itu hansaplast yang lo pake gemes. Gambar kambing, hehe."

Pandangan Pangeran beralih menatap hansaplast yang dia pakaikan di tangan kiri Rani. "Oh, lo suka kambing 'kan?"

"Eh, kok tahu?"

"Em, lo lupa kalau tidur di kelas selalu ngigau bilang kambing kambing Momo Momo, makanya gue tahu. Momo itu kambing lo 'kan?"

Rani menutup netranya beberapa detik, wajahnya memerah, malu sekali. Tolong, di mana tempat pembuangan sampah? Harus di buang ke sebelah mana wajahnya ini? Bisa-bisanya dia mengigau seperti itu. Ah, memalukan.

"Engh, gu-gue ngigau gitu, ya?"

"Hu um, udah, udah selesai. Gak sakit lagi 'kan?" Pangeran kembali memasukkan kotak P3K ke dalam tasnya.

SNOW BLACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang