Terungkap II

74 11 57
                                    

Reno dan Rani ketawa ketiwi di halaman belakang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Reno dan Rani ketawa ketiwi di halaman belakang. Lelaki berambut ikal itu menyemprotkan cat ke sembarang arah, seakan tiada beban. Sementara Rani, gadis berambut sebahu itu mendengus kasar, dia sangat membenci aroma yang keluar dari benda kaleng itu.

"Reno! ih bau!"

"Alah, lebay!"

Rani menutup indra penciumannya. "Lo tahu 'kan kalau gue gak suka baunya! Udah ah, mending gue masuk ke dalam. Lo sendirian aja di sini, makan tuh cat lo yang bau itu, hihh," Rani melangkahkan kaki, berniat untuk meninggalkan sahabatnya.

"Eh, gak boleh gitu dong! Katanya lo mau nemenin gue ngelukis. Gue udah capek-capek lho ngelukis buntut Momo yang amat teramat rupawan ini, seharusnya hargai dong. Bentar lagi selesai, nih."

Rani menggeram kesal. "Terserah lo!"

"Oke, terserah artinya iya. Tunggu ya, bentar lagi," Reno menahan tangan Rani, lantas kembali melanjutkan aktivitasnya. Hanya Rani yang bisa membuatnya melukis dalam keadaan hati yang biasa-biasa saja seperti ini, sedih enggak, senang juga enggak. Biasanya, Reno hanya melukis dinding jika suasana hatinya sedang buruk. Ingat, saat sedang buruk.

Rani menggerutu, dia sedikit menjaga jarak dengan Reno. "Arnol kok lama banget sih, gak dateng-dateng."

"Seharusnya pulang sekolah, ganti baju, dia langsung ke sini."

"Oh, atau jangan-jangan... ish! Awas aja kalau tuh anak ke rumah gue lari-lari lagi, dia udah janji kemarin yang terakhir."

Rani terus bicara tanpa henti. Sementara Reno, dia cuma diam mendengarkan seraya melanjutkan lukisannya.

Rani berjalan ke sana kemari, menggigit ujung kukunya, nampaknya gadis berpipi chubby itu sangat khawatir. "Kalau dia lari-lari terus ketabrak motor atau mobil, gimana? Duh, tuh anak ya bener-bener nyusah─"

"Emang kenapasih?! Sehari aja gak ada Arnol gak bisa, ya?" protes Reno, posisinya saat ini memunggungi sahabatnya itu.

Rani terdiam, netranya membulat. Dia berjalan mendekat ke arah Reno. "Ha? Coba ulangi, kok lo tega sih ngomong gitu."

Reno diam beberapa saat. "I-iya habisnya lo sih, Arnol pasti datenglah, gak usah mikir yang aneh-aneh."

"Ya, gue kan cuma khawatir."

"Gak baik khawatir secara berlebihan."

Rani terkekeh, dia berdecak pelan. "Ch. Dari kecil juga gue udah sayang banget sama Arnol, gue gak mau dia kenapa-kenapa. Dan, gue juga sayang sama lo, Ren," Rani menjentikkan jarinya. "So, khawatir secara berlebihan untuk kalian berdua itu sudah biasa bagi gue, kalian itu prioritas."

Reno memutar tubuhnya menghadap Rani, lelaki beralis tebal itu menekuk wajahnya, membulatkan mata, dan sedikit menambah bumbu-bumbu dramatis. "Aduh, mbak Rani, saya jadi terharu... hiks."

SNOW BLACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang