Hipnotis?

68 10 76
                                    

Arnol mengatur napasnya, saat ini lelaki beralis tebal itu sudah sampai di depan gerbang sekolahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arnol mengatur napasnya, saat ini lelaki beralis tebal itu sudah sampai di depan gerbang sekolahnya. Sengaja berlari dari rumah hingga ke sekolah, itu sudah biasa dia lakukan. Jarang sekali lelaki itu menggunakan kendaraan──ah, ralat, dia bahkan tidak memiliki kendaraan.

Sejak semalam, emosi Arnol benar-benar tidak terkendali. Seperti tadi, dia tanpa sengaja membentak seorang lelaki yang hampir saja mau menabraknya menggunakan motor. Padahal, jelas-jelas Arnol tahu kalau dia masih tahap belajar. Tetapi, Arnol justru memarahinya habis-habisan. Ntahlah, kenapa Arnol menjadi seperti ini. Dia sangat sensitif.

Baru saja ingin melangkahkan kaki masuk ke dalam lingkungan sekolah, mendadak Arnol merasa sesak napas. Dadanya benar-benar sesak. Perkataan Alfon semalam masih menyisakan bekas di dada Arnol. Dadanya bak di gores menggunakan silet, sakit. Dulu ibunya yang dijadikan bahan ancaman, sekarang sahabat-sahabatnya, Arnol benar-benar tidak terima. Tetapi, dia bisa apa? Mau tidak mau dia harus menuruti kehendaknya Alfon.

"Kak Arnol, are you okay?"

Arnol mendongak, dia tersenyum kecut. "Ya? I'm okay."

Aca hendak membantu menopang tubuh kakak kelasnya itu, tetapi Arnol menolak dan mulai melangkahkan kaki begitu saja. Gadis bertubuh minimalis itu mengikuti Arnol dari belakang. "Kak, kakak beneran gapapa? Wajah kakak pucat bang─"

Bruk!

"Awh..."

Arnol tiba-tiba menghentikan langkahnya, membuat Aca tanpa sengaja menabrak punggung Arnol. Gadis bertubuh mungil itu memusut-musut dahinya. "Kak?"

Arnol memutar tubuhnya. Mulai, darah lelaki beralis tebal itu berdesir naik begitu saja, emosinya benar-benar tinggi. Arnol mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah adik kelasnya itu. "Kalau aku bilang gapapa ya gapapa! Gak usah sok peduli! Aku gak per──"sial, Arnol memejamkan netranya beberapa saat, menurunkan jari telunjuknya dengan perlahan. "Maaf."

Aca terdiam, tubuhnya mematung, jantungnya berdetak kencang. Sungguh, ini pertama kalinya dia melihat Arnol berbicara dengan nada tinggi seperti itu. Biasanya, kakak kelasnya ini sangat diidolakan karena keramahan dan kesopanannya, kenapa hari ini benar-benar berbeda. Aca menekuk wajahnya, dia tertunduk takut.

Arnol mengerjab hingga tiga kali, menatap gadis di hadapannya. Perlahan, tangan Arnol terulur kepadanya. "Maafin aku, ya?"

Aca mendongak, kedua netranya masih takut-takut menatap insan di hadapannya. Gadis berambut ikal panjang itu menerima uluran tangan Arnol, dia tersenyum. "Gapapa, kok."

Aneh, emosi Arnol yang tadinya memuncak seketika mereda begitu saja. Aca sukses membuat ujung bibir Arnol terangkat, Arnol tersenyum, membuat lubang di kedua pipinya terlihat jelas. Lelaki berlesung pipi itu tak henti-hentinya menatap gadis di hadapannya. Kenapa Arnol sangat menyukai mata gadis itu? Kedua mata Aca sangat menarik perhatiannya, bak bulan sabit yang indah. Sungguh, sangat indah.

SNOW BLACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang