Terungkap III

41 10 60
                                    

"Lah? Ini 'kan alamat rumah lo, Nol

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lah? Ini 'kan alamat rumah lo, Nol."

Arnol tampak berfikir sejenak. "Iya masuk akal juga, sih. Ayah sama om Farell 'kan dulunya emang sahabat dekat, wajar saja."

"Oh ya? Kenapa tidak memberi tahu saya dari dulu?"

Rani melayangkan pandangannya ke arah Om-nya itu. Perlahan, dia berdecak. "Ck. Om 'kan dari kecil selalu di luar negri. Mana tahu apa-apa yang terjadi sama keponakannya ini."

Tio terkekeh. Memang benar, dia sangat jarang sekali kembali ke Indonesia. Hal yang disukai atau tidak disukai keluarga dan saudaranya saja dia tidak tahu. Saking sibuknya mengejar cita-cita. "Iya iya, Oom minta maaf, deh."

"Hm. Oh ya, tante mama juga sahabat deketnya papa."

Tio mengangkat satu alisnya. "Ta-tante mama?"

"Mamanya Reno. Rani udah biasa manggil kek gitu."

Lelaki yang berprofesi sebagai polisi itu mengangguk paham, Tio ber-oh panjang. "Oh, gitu."

"Hm. Terus, kenapa om kasih Arnol alamat ini?"

"Itu──"

Belum sempat menjawab pertanyaan Rani, Pak Jaja lebih dulu memotong ucapan Tio. "Farell? Farell Wicak Ganendra?"

"Bapak tahu om Farell?" tanya Arnol.

Rani juga ikut membuka mulut, kedua netranya menatap Pak Jaja dengan lekat. "Bapak tahu papa saya? Farell Wicak Ganendra, saya anaknya, Rani Faresta Ganendra."

Pak Jaja mengangguk mantap. "Iya, bapak tahu. Kita pernah satu sekolah."

"Ba-bapak tahu di mana papa berada sekarang?"

Deru napas Rani memburu, darahnya berdesir naik. Ya Tuhan, terima kasih, Rani seperti kembali memiliki harapan untuk bisa menemukan ayahnya. Sial, kenapa dari dulu dia tidak bertanya saja kepada pak Jaja. "Pak? Bapak tahu 'kan di mana papa sekarang?"

Arnol dan Tio juga ikut menyimak, mereka tak sabar mendengar kalimat apa yang keluar dari mulut Pak Jaja.

"Eumh, terakhir saya bertemu dia lima tahun yang lalu, mungkin."

Wajah Rani kembali murung. Gadis berambut sebahu itu menyandarkan tubuhnya ke dinding, helaan napas lelah terdengar dengan jelas. Arnol memperhatikan sahabatnya itu, lelaki beralis tebal itu tahu, Rani pasti kecewa pada dirinya sendiri, karena tidak bisa menemukan satu-satunya lelaki yang pernah dan akan selalu menjadi cinta pertamanya itu. "Lima tahun yang lalu? Bapak bertemu di mana?" tanya Arnol pada pak Jaja.

"Iya, bapak pernah bertemu di mana?" timbal Tio.

"Coba lihat alamat tadi."

Dengan cepat Tio memberikan ponselnya, membiarkan Pak Jaja membacanya.

SNOW BLACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang