21. Kembali Normal
Hari-hari berlalu dengan begitu cepat, tak terasa sudah hampir satu bulan setelah Ghea meninggalkan Palu bersama Azka dan teman-teman relawannya. Kesibukannya kembali, berkutat dengan berbagai praktek, buku-buku tebal berbahasa asing demi untuk mendapat gelar sarjana kedokteran.
Setelahnya dirinya harus kembali berjuang untuk mendapatkan title Dr. didepan namanya, mengikuti kegiatan dokter muda atau yang sering disebut koas selama 2,5 tahun jika tidak menngalami kendala, bekerja tanpa gaji dengan jam kerja sama sepeti seorang dokter yang telah mendapaat ijin praktek, di rolling kesetiap poli dengan ujian disetiap akhir putarannya merupakan sebuah tantangan tersendiri untuk setiap calon doktetiap calon dokter.
Disinilah Ghea sekarang, berdiri di depan gerbang kampusnya lalu memandanginya dengan seksama, tempat yang menjadi naungannya untuk menunutut ilmu selama 4 tahun ini. Sedikit menghela napas, lalu melangkahkan sepasang tungkainya menuju gedung fakultasnya yang terletak lumayan jauh dari gerbang depan, matanya masih setia mengamati sekitar, entah kenapa dirinya merasa sangat perasa hari ini.
Sedangkan dilain tempat, di kota Palu tepatnya, seorang prajurit dengan wajah lempeng tengah bersiap untuk segera bertolak dari kota unik ini, kota yang juga memberinya banyak kenangan. Kekehan ringan tidak sengaja keluar dari bibirnya, ketika tingkah laku seorang gadis mengunjungi kepalanya, menggelengkan kepala lalu memutuskan untuk menghampiri rekan-rekannya yang sudah kembali siap menyusuri laut, tidak dengan 'saudaran'ya kali ini namun rekan 'saudara'nya yang hanya mampu mengapung diatas air tidak mengarungi dalamnya lautan.
Mengarungi lautan di waktu senja ataupun dini hari menghadirkan euforia keindahan tersendiri, langit jingga yang berpadu dengan birunya laut, mampu menghasilkan sebuah ketenangan yang menembus kedalam relung jiwa, itulah yang dirasakan Dewa sekarang.
Bersandar pada pembatas geladak kapal, ditemani dengungan mesin kapal yang samar-samar terdengar, semilir angin yang menyejukan serta nyanyian burung yang terbang menuju sarangnya menghasilkan sebuah lagu apik ditelinga, ah jangan lupakan pancaran jingga si ufuk barat yang seolah-olah menaungi lautan dalam rengkuhannya. Perpaduan yang sangat pas untuk menghilangkan penat setelah lebih dari satu bulan bertugas di tempat terjadinya bencana yang korbannya terus bertambah setiap harinya.
Seorang pria dengan mata sipit lantaran mengantuk tengah berdiri di sebuah dermaga pelabuhan ditemani gelapnya malang, beberapa nyamuk yang menyedot brutal darahnya, serta beberapa orang yang hilir mudik dengan suara
Kepalanya tertunduk menatap benda pipih di genggaman tangannya yang menampakan cahaya terang, jarinya bergerak lincah diatas layar touch screen, mulut tidak berhenti mendumel namun sesekali menguap menahan kantuk, beberapa orang tampak memperhatikannya dengan alis bertaut bingung.
" Ck punya abang satu kerjaannya jauh-jauh mulu, gue dijadiin supir tanpa upah tapi kalo lama-lama juga gue kangen, sialan emang." Decaknya sembari mengucek matanya yang berair lantaran menahan kantuk. Pandangannya mengedar hingga menemukan armada laut prajurit perairan ingin menepi dan menurunkan jangkar, mata menyipit hingga nampak hanya segaris berusaha memastikan jika kapal tersebutlah yang ditumpangi abangnya.
Beberapa saat setelah kapal menepi, keluarlah barisan pria berbadan tegap yang sebagian hanya menggunakan kaos PDHnya dan sebagian lan masih berpakian PDH lengkap. Helaan napas lega keluar dari mulutnya, lalu berjalan cepat menghampiri sang abang yang sudah terlihat siluetnya, bersiap mengeluarkan segala omelan yang sedaritadi menyangkut di kerongkongannya.
" Ayo pulang, mengomel dirumah kamu mengganggu momen orang lain." Celetuk seseorang dengan wajah lempengnya telapak tangan besarnya terangkat tepat di depan wajah sang adik yang telah bersiap mengeluarkan omelannya, sudah biasa baginya mendapat segala gerutuan sepulang bertugas bukannya pelukan hangat layaknya rekan-rekannya yang lain.
Pria yang sudah membuka mulutnya siap berultimatum tersebut, sontak mengatupkan mulutnya dengan tubuh sedikit tersentak kebelakang lantaran terkejut mendapati sebuah telapak tangan berada tepat di biji matanya. Mendengus dan berdecak sebal sebelum memandu langkah abangnya menuju tempat parkir, dengan batin yang mendumel tiada henti, tangannya sesekali mengucek mata sembari menguap.
~~~
TBC
Silahkan klik ☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Saudara Sang Monster Laut
General FictionAbdi negara, pekerjaan mulia bertaruh nyawa. Bertugas di daerah nan jauh di sana, meninggalkan sanak saudara. Mengorbankan nyawa demi melindungi jutaan nyawa saudara serta kedaulatan bangsanya. ==================================== TERINSPIRASI DARI...