▪ Insiden

299 32 10
                                    

Ramaikan dengan vote dan coment:D

🌵🌵🌵

Menjelang malam makin banyak santri dan santriwati berlalu-lalang disibukkan dengan tujuannya masing-masing.

Ada yang sedang menata dekorasi untuk acara muhadhoroh yang diadakan di aula pondok pesantren. Santri dan santriwati yang sedang berlatih yang nantinya mereka akan tampil di atas panggung. Dan beberapa santriwati yang mendapat tugas menyiapkan konsumsi selama acara berlangsung.

Semuanya tidak sabaran menunggu acara ini dimulai. Karena nantinya mereka akan melihat penampilan dari teman-teman mereka yang sangat beragam. Mulai dari tilawah Al-Qur’an, pidato tiga bahasa, permainan hadroh oleh putra, permainan marawis oleh putri, dan masih banyak lagi.

Sedangkan mereka yang mendapat bagian untuk menampilkan kemampuannya sedang merasa deg-degan menunggu gilirannya.

Pesantren ini rutin mengadakan kegiatan muhadhoroh setiap satu bulan sekali. Yang susunan acaranya bukan hanya sambutan dan ceramah saja, melainkan suguhan-suguhan kreatif dari anak pesantren. Bisa dibilang ini adalah moment yang ditunggu-tunggu dalam satu bulan di pondok pesantren.

"Woww!! Gila-gila! Liat, Sha, bocah yang gua ajarin vokal tadi. Suaranya merdu banget sampe melengking gitu." Resti bersorak kencang tatkala vokalis marawis melantunkan sebuah sholawat. Membuat seluruh pasang mata jadi tertuju padanya dan Aisha.

Aisha mencubit pelan lengan Resti sampai si empu tersadar. “Sutssss ... jangan teriak-teriak gitu. Kita gak lagi di kampus ataupun hutan, Res. Di sini, adab sama akhlak yang diutamakan.”

Resti malah menyengir tidak jelas.
"Hehehe, maaf, Sha. Abisnya gua kelewat bangga nih, anak didikan gua bisa berhasil."

Saat sedang asyik-asyiknya memvideokan penampilan marawis putri, Aisha mendadak ingin buang air kecil. Ia menyudahi kegiatannya itu dan menyimpan ponselnya di dalam tas.

"Res, aku mau ke toilet dulu. Udah kebelet. Kamu mau ikut gak?" Aisha tidak bisa menunggu lama lagi.

Tanpa mengalihkan perhatiannya, Resti menggeleng seraya berucap, "Enggak, lagi asik, Sha. Nanti gua ketinggalan penampilannya lagi. Lo aja deh sendiri, gua tunggu di sini."

Aisha mengangguk. Buru-buru ia meletakkan tasnya di samping Resti kemudian berlalu menuju toilet wanita di samping aula.

Setelah selesai membuang air, Aisha tidak langsung masuk ke aula. Ia duduk di pelataran untuk mengenakan kembali kaos kakinya. Namun saat beberapa detik ia akan melangkah masuk lagi ke dalam, seorang santri menghampirinya dengan wajah yang cukup panik.

"Assalamu'alaikum, Ustadzah."

Aisha mengangkat kepalanya. "Wa'alaikumsalam. Iya ada apa?" tanya Aisha ramah. Padahal dalam hatinya ia mempertanyakan mimik wajah tidak biasa dari santri itu.

"Kenapa muka kamu kayak lagi panik gitu? Mari duduk dulu, bicarakan pelan-pelan." Aisha menepuk lantai di sebelahnya mempersilakan santri yang umurnya sekitaran 15 tahun itu untuk duduk.

Perasaannya jadi tidak enak. Tiba-tiba saja Aisha jadi kepikiran dengan Rayhan. Laki-laki itu sama sekali belum kelihatan batang hidungnya sedaritadi. Apa mungkin kak Rayhan ikut pulang bersama kedua orang tuanya? Tumben sekali laki-laki itu tidak memberitahunya.

"Ya ampun, Aisha. Kamu bukan siapa-siapanya kak Rayhan. Buat apa juga kak Rayhan harus ngasih kabar ke kamu," batinnya.

"Ustadzah?" Santri itu melambaikan tangannya di depan wajah Aisha.

"Ah, iya. Maaf."

"Anu ... Ustadzah. Tadi pas saya lagi keliling di bagian belakang pesantren. Saya ngedenger ada suara perempuan minta tolong gitu. Tapi sumber suaranya dari bangunan tempat petani nyimpen alat dan mesin untuk bertani."

Hii! Aisha [Hijrah Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang