▪ Mendadak Pamit

450 65 23
                                    


~Perpisahan tanpa pamit sama saja dengan menyiksa seseorang pada sebuah kerinduan yang menyesakkan~

[Happy Reading]
☆☆☆

Esok harinya, Rayhan diantar oleh kedua orang tuanya menuju rumah pamannya.

Hari ini dia bolos kuliah lagi dengan alasan ingin menghabiskan waktu terakhirnya dengan orang-orang di rumah. Padahal itu hanya alibinya saja karena sedang merasa malas.

Ia pun masih belum mau bertemu dengan sahabat-sahabatnya, bukannya ia marah. Hanya dirinya sedang malas bergerak dan membalas pertanyaan mereka satu persatu nantinya. Buktinya saja ia terbangun hampir pukul 12.00 siang tadi.

Pagi tadi Arina sempat membangunkannya untuk berangkat kuliah, tetapi bukannya bangun, Rayhan malah semakin merapatkan selimutnya sembari berkata tidak jelas, "Abi izin ga kuliah dulu, Bun. Mau kangen-kangenan sama mang Jojo."

Lantas bundanya itu berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun berujung pada persetujuan. Bukan tanpa alasan, ia ingin agar anaknya merasakan kenikmatan dulu sebelum nanti ia akan merasakan pola hidup yang berbeda.

Sebenarnya tempatnya Rayhan nanti tidak membawa penderitaan baginya. Hanya saja lebih sederhana. Sedangkan anaknya itu sudah biasa hidup bergelimangan dengan apa yang ia inginkan.

"Gua harus puas-puasin tidur di kasur empuk, bisa jadi di sana gua tidur pake karpet doang," racaunya ketika tadi masih berada di alam mimpinya.

"ABIDZAR ANMEN!! Udah belum kangen-kangenannya?" panggil Cakra pada Rayhan yang sedang memeluk mang Jojo, bi Inah, dan Montok secara bergantian.

Rayhan memutar bola matanya malas, ayahnya sangat mengacau acara kangen-kangenannya.

"Montok ... walaupun kita baru kenal sehari dan lo banyak bikin ulah, gua tetep sayang sama lo, seperti sahabat gua sendiri. Gua pamit, ya, nanti kalo gua udah pulang, gua bakal aja lo keliling Bandung," ucap Rayhan pada motor tuanya mang Jojo, membuat siapa saja yang melihatnya ingin tertawa geli.

"Jangan sedih, Den. Nanti Montoknya mamang jagain selalu." Mang Jojo menepuk-nepuk pelan pundak Rayhan.

Rayhan menyimpulkan senyum manisnya seraya mengacungkan kedua ibu jarinya.

"Udah, Yuk, Anmen. Takut sampai di sananya kesorean," tukas Cakra lalu merangkul pundak Rayhan membawanya menuju mobil.

"Yah, Sejak kapan nama panjang Abi ada embel-embel Anmennya?"

"Itu julukan buat kamu, si 'ANAK CEMEN'."

Rayhan sontak melepaskan rangkulan di pundaknya dan menyemberutkan wajahnya pada ayahnya.

"Gak usah gitu!! Kamu udah tua, udah gak kelihatan imut lagi." Cakra meraup wajah Rayhan dengan kelima jarinya.

Arina yang memperhatikan mereka dari jauh lantas tertawa geli. Suaminya yang usil terhadap putranya. Sedangkan putranya yang tidak terima ketika diusili. Membuat mereka sering kali terlibat pertengkaran kecil karena hal sepele.

"STOPP!! Kalian udah pada tua masih aja suka bertengkar," lerai Arina ketika mereka telah berada di dekatnya.

"Abidzar yang udah TUA!!" ujar Cakra yang sengaja menekankan kata Tua.

"Dih ... ayah gak ngaca? Kalo Abi udah tua, ayah jadi apa? EYANG?" balas Rayhan tak mau kalah.

Lagi dan lagi keduanya saling bersitatap tajam tidak ada yang mau mengalah. Rasanya kepala Arina ingin pecah saja.

"Halah ... boro-boro jadi Eyang, cucu aja belum punya. Makanya cepat-cepat kasih kami cucu dong," sahut Arina.

Rayhan dengan cepat mengendikkan bahunya dan langsung masuk ke dalam mobil tanpa membalas permintaan bundanya. Bukannya tidak ingin, saat ini bukan waktu yang pas untuk membahas itu semua. Masih ada banyak hal yang harus ia perbaiki terlebih dahulu.

Hii! Aisha [Hijrah Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang