" Orang kuat bukan berarti ia tidak pernah menangis, tetapi orang yang terus istiqomah dalam menghadapi setiap ujian dan godaan."
Warning! Bab ini terdapat sempilan kata-kata kasar. Mohon tidak untuk ditiru.
Rayhan mengetuk pintu ruang kerja ayahnya dan langsung melengang masuk tanpa mengucap salam terlebih dahulu. Ia mengambil posisi duduk di hadapan sang ayah yang masih sibuk membaca koran. Entah pria setengah baya itu menyadari kedatangannya ataukah tidak.
"Wa'alaikumsalam. Ck, dasar anak Cemen yang gak sopan main nyelonong masuk aja," celetuk Cakra.
"Baca, Bi." Cakra melempar pelan koran itu di atas meja.
Rayhan meliriknya sekilas, sudah bosan dengan berita mengenai tragedi di kantornya. Ia lantas melempar koran tersebut ke tempat sampah yang berada di sudut ruang kerja itu.
"Kamu gimana sih Bi ngurusin perusahaan? Gak becus banget. Kenapa bisa sampai kecolongan gini??" cerca Cakra pada Rayhan.
Hening beberapa detik. Rayhan menyenderkan punggungnya pada sofa. Helaan napas ringan terdengar darinya. Entahlah, dia juga tidak tahu mengapa ini bisa terjadi. Daffa terlalu nekat dalam mengejar ambisinya sampai orang lain yang menjadi korban. Tapi untuk yang satu ini sudah tidak bisa ditoleransi.
"Ini di luar kendali Abi, yah. Abi juga gak pengen kejadian buruk kaya gini terjadi. Tapi semuanya berlalu begitu cepat."
"Gak mungkin orang itu berbuat jahat kalau dia gak kenal kamu sebelumnya. Ayah pengen kamu selesain semuanya dengan segera. Kalau perlu kembalikan lagi stabilitas bekerja seluruh pegawai di perusahaan. Sejak kejadian teror bom kemarin banyak pegawai yang mengeluh kalau mereka trauma."
Cakra tau ini pasti berat bagi putranya untuk menyelesaikan masalah secara cepat. Selain keadaan perusahaan, Rayhan juga harus segera menyelesaikan permasalahan pribadinya itu. Ditambah istrinya yang sedang mengandung dan butuh pengawalan yang ekstra. Bisa saja setelah ini salah satu dari anggota keluarganya yang menjadi sasaran.
Satu sisi Cakra ingin membantu menyelesaikannya. Tetapi akar permasalahan ini ada pada anaknya dan dia merasa tidak pantas ikut campur di dalamnya. Biarlah anaknya itu belajar bertanggung jawab atas perbuatannya di masa lalu. Ia yakin ada setitik masa lalu pahit dalam hidup anaknya yang tak pernah diceritakan padanya sampai sekarang.
"Abi sadar memang pihak yang bersalah di sini adalah Abi. Abi udah berusaha cari orang itu, Yah, tapi keberadaannya sulit buat ditemukan. Haruskah Abi menyerahkan diri ke orang yang udah dari lama menginginkan kematian Abi agar semua orang bisa hidup dengan aman?"
"Pusing Abi, semua orang seakan menekan Abi buat nyelesain semuanya tapi mereka gak ada satupun yang mau bantu. Kalau gitu, jangan tahan Abi atas keputusan berat yang akan Abi ambil."
Rayhan beranjak keluar dari ruang kerja itu tanpa pamit pada ayahnya. Sudah muak dengan hari-harinya yang selalu dihantui oleh Daffa. Rasanya ia ingin segera membalaskan dendamnya pada cowok itu. Dia bukanlah pembunuh adiknya Daffa. Tetapi cowok itu malah ingin menghancurkan hidupnya. Apakah ini adil? Sangat tidak bagi dirinya.
"Daffa ... lo berhasil ngebangunin setan dalam diri gua. Gua ikutin semua permainan lo sampai salah satu di antara kita ada yang jatuh," gumam Rayhan dengan tatapan yang sangar.
~~~
Rayhan melirik ponselnya yang bergetar di bangku sebelah dengan malas. Tertera nama Leo di sana. Panggilan pertama sengaja ia abaikan karena sudah tau dengan isi percakapan unfaedah jika mengobrol bersama cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hii! Aisha [Hijrah Series]
Teen FictionSosok lelaki bak burung lepas dari sangkar setelah dia lulus dari pondok pesantren tempatnya menuntut ilmu. Kebebasan pergaulan dan disakiti oleh wanita yang dicintai membuat ia jadi meninggalkan tuhannya. Tidak lagi dia percaya pada tiap takdir ind...