Rayhan memasuki apartemennya gontai. Bajunya sudah berantakan, kedua matanya terlihat sayu akibat sehari ini tidak beristirahat, ditambah ia belum makan malam. Masa bodo jika esok hari ia akan jatuh sakit. Aisha juga pasti tidak akan tega mengusirnya yang sedang kelelahan ini.
Rayhan merapihkan sepatunya di rak lalu menelisik ke sekelilingnya, semua ruangan dipenuhi oleh pencahayaan yang sangat terang. Persis seperti apa yang sudah ia amanahkan untuk istrinya, jika ia pulang terlambat, jangan matikan satu pun lampu. Karena itu akan menyulitkan kita kalau suatu hal tiba-tiba saja terjadi.
Rayhan mendekati meja makan, terdapat nasi dan lauk yang tak tersentuh di sana. Sudah dingin, pasti sebentar lagi akan basi. Jahat sekali bukan Rayhan? Meninggalkan istrinya sendiri padahal dia sudah lelah-lelah mengurusnya. Bergegas Rayhan duduk dan menyendok nasi. Sebenarnya ia sudah tak ingin makan, tapi ia harus menghargai jerih payah istrinya.
"Enak, masakan kamu selalu terenak setelah bunda, Sha," pujinya sembari mengunyah.
Senyumnya tertarik ke atas, membayangkan sesemangat apa istrinya saat memasak tadi. Ah, rasanya ia menyesal sudah melewatkan hal itu.
Buru-buru Rayhan menghabiskan makanannya. Dua centong nasi sudah lebih dari cukup baginya.
Rayhan menepuk keningnya melupakan satu hal. "Gua lupa cuci tangan dulu tadi. Kalo Aisha tau mungkin dia bakal marah."
Rayhan tak memerdulikan itu. Ia menuju ke kamar mandi untuk bersih-bersih dahulu. Sebab Aisha tak mengijinkannya tuk memeluknya saat pulang kerja sebelum membersihkan diri dulu. Hhmm, Rayhan rasa itu hal umum yang akan dilakukan juga oleh pasutri lain. Menjaga kebersihan tidak hanya berlaku untuk tenaga kesehatan saja, tapi seluruh makhluk hidup.
Rayhan membuka perlahan knop pintu kamarnya, tak ada sedikitpun bunyi yang ditimbulkan. Tubuhnya sedikit lebih segar sekarang setelah mandi, semangatnya kembali hadir di dalam diri. Ia sudah siap mendengar ocehan pedas dari sang istri.
Belum naik ke kasur, Rayhan berdiri menatap dua insan yang berbeda usia itu, tidur saling memeluk layaknya seorang anak dan ibu. Jiwa keibuan sudah menguasai seluruh diri istrinya. Rayhan jadi membayangkan suasana seperti itu, bersama istri dan malaikat kecilnya nanti kelak.
"Kamu udah pantas untuk jadi Ibu," gumam Rayhan sembari tersenyum kecil.
Perlahan Rayhan melangkah mendekati Aisha. Terdapat ruang kosong di sebelahnya hal itu tentu saja dimanfaatkan dengan baik oleh Rayhan. Ia merebahkan dirinya di samping Aisha, ikut masuk juga ke dalam selimut dan memeluk hangat Aisha dari belakang.
Aisha sedikit menggeliat merasakan sesuatu yang berat menimpanya. Matanya terpaksa dibuka. Ia sudah tau siapa yang memeluknya. Ia hapal betul siapa pemilik harum yang menenangkan itu.
"Jangan dilepas. Aku tau sebenarnya kamu kangen kan sama aku? Sama aku juga. Biarin kaya gini dulu sementara, kita lupakan masalah itu sejenak." Rayhan menelusupkan wajahnya ke dalam ceruk leher Aisha, pelukannya semakin erat.
Aisha menyerah, ia tidak bisa lama-lama marah dengan suaminya. Itu sama saja dengan menyakiti hatinya sendiri. Aisha menyenderkan kepalanya pada dada bidang milik Rayhan. Sembari memikirkan lagi perlakuannya tadi pada sang suami. Menurutnya sudah sangat kelewatan.
"Sttsss, it's okay Sayang. Aku udah ketemu sama orangnya. Dia nanti bakal kesini buat ambil anaknya," ucap Rayhan yang merasakan bahu Aisha bergetar.
"Maaf, kamu jadi salah paham karena ini. Aku mohon, jangan nangis lagi. Hati aku ikut remuk, Sha, ngeliatnya ...."
Aisha menggeleng berkali-kali. "Maafin Aisha, Ka. Maaf Aisha udah durhaka sama Kakak. Tadi itu di luar kendali Aisha, Aisha sangat kaget."
"Gak pa-pa Sayang. Aku udah maafin kamu sedaritadi. Wajar kalau kamu ngerespon kaya gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hii! Aisha [Hijrah Series]
Teen FictionSosok lelaki bak burung lepas dari sangkar setelah dia lulus dari pondok pesantren tempatnya menuntut ilmu. Kebebasan pergaulan dan disakiti oleh wanita yang dicintai membuat ia jadi meninggalkan tuhannya. Tidak lagi dia percaya pada tiap takdir ind...