After Epilog 2

686 44 7
                                    

Warning! Terdapat adegan dewasa didalam part ini. Diharap pembaca bijak. 🔞

***

"Rio beneran gak bisa, Yah?" Alify bertanya sekali lagi ketika dirinya sudah berada diluar rumah sakit dengan menggunakan kursi roda kepada sang Ayah yang mendorongnya dari belakang.

"Dia bilang ada meeting tadi." Jawab Gunawan singkat.

Alify menghela nafasnya, ia menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi roda. Tak biasanya Rio tidak memberinya kabar. Bahkan ketika ia membuka mata di pagi hari pun Rio sudah tidak ada. Terakhir bertemu pun sebelum Alify tertidur dan Rio tidak membicarakan apapun.

Pikirannya bercabang sekarang. Apakah Rio marah padanya? Apa Rio melepasnya? Rio pasti kecewa padanya, itu jelas. Namun mengapa selama ini Rio masih menemaninya? Bahkan tak satupun keluarga Rio datang untuk mengantarnya pulang saat ini. Apa ia benar-benar sudah dilepas?

Lamunan Alify terbuyarkan kala mobil milik ayahnya berhenti tepat dihadapannya. Sang Ayah membantunya untuk duduk di kursi belakang kemudi, disusul sang Ibu yang duduk disampingnya.

"Handphone aku mana ya?" Alify bertanya ketika menyadari ponselnya belum ia jumpai sejak pagi.

"Dibawa Rio kali." Lagi, sang Ayah menjawab.

Alify masih belum percaya. Menurutnya suaminya tidak mungkin melakukan itu. Matanya memandang penuh selidik kepada sang Ayah yang duduk disamping kemudi. Ia tau ada yang tidak beres. Ada yang sedang disembunyikan darinya.

"Sudah, kamu tidur saja. Perjalanan ke rumah masih jauh." Ucapan sang Ibu membuat Alify mengalihkan perhatiannya. Lantas ia menurut dan menjatuhkan kepalanya pada bahu sang Ibu. Sudah lama ia tidak bermanja seperti ini. Ya jelas, karena ia memilih menumpahkan kemanjaanya kepada sang suami.

***

Alify memandangi halaman belakang rumahnya dari balkon kamarnya. Semilir angin sore terkadang menerpa wajahnya hingga membuat beberapa helai rambut ikut berterbangan. Udara yang sejuk pun sangat ringan untuk dihirup dan membuat hatinya sedikit tenang.

Di taman belakang tidak ada siapa-siapa. Hanya ada beberapa bunga koleksi sang Ibu, kolam renang yang dulu sering dipakai olehnya dan ketiga kakak tirinya, juga pohon mangga yang rimbun tapi sedang tak berbuah. Warna hijau yang mendominasi memberikan ketenangan pada hati maupun jiwanya. Kalau tidak salah, warna hijau dijadikan terapi penglihatan atau warna penyegar. Setidaknya Alify dapat merefresh pikiran dan matanya sejenak.

Sepasang tangan melingkar memeluk pinggang ramping Alify. Tanpa ia menoleh pun Alify sudah hafal siapa pelakunya. Sudah tercium dari aroma parfum khas miliknya yang limited edition.

"Kenapa di luar, sayang? Bosan?"

Alify mengangguk. "Aku kayak Rapunzel. Dikurung."

Orang itu tertawa. "Kamu masih boleh turun ke bawah."

"Tapi aku pengen keluar, Yah.."

Gunawan -seseorang tadi hanya tersenyum lalu menggusak puncak kepala anaknya. "Sabar ya, sayang. Kamu masih pemulihan."

"Udah satu bulan. Aku juga kangen Rio..."

Kali ini Gunawan menggeleng. "Rio dan kamu masih harus pisah. Ayah takut dia tidak bisa menahan nafsunya-"

"Bisa Ayah! Rio pasti ngertiin aku kok. Ayah percaya kan ke Rio?" Pinta Alify penuh harap.

Gunawan tetap menggeleng. Ia menempatkan kedua tangannya untuk memegang bahu sang anak. "Gak boleh! Tetap gak boleh. Nurut ya sama Ayah!"

Alify menghela nafasnya. "Aku jadi curiga..."

Gunawan memandang putrinya dengan tatapan tanya, menunggu putrinya melanjutkan kalimatnya.

Brandaly GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang