47 - Cemburu

360 31 0
                                    

"Tuh Fy, udah gue siapin. Lo pake kamar kakak gue aja." Gibran mempersilahkan Alify untuk masuk ke kamar yang biasa ditempati kakaknya.

"Oke, thanks." Ucap Alify lalu memasuki kamar yang sudah disediakan.

Rio baru saja selesai berganti pakaian menggunakan pakaian yang dipinjamkan Gibran. Ia melihat Alify yang baru memasuki kamar lain yang beda darinya.

"Pakai baju siapa si Alif?" Rio bertanya entah pada siapa tujuannya, yang jelas kepada anak-anak yang ada disekitarnya.

"Baju kakak gue. Ukurannya mungkin agak gede sih karna kakak gue sedikit gemuk."

Rio menganggukkan kepalanya. Lantas ia memilih duduk di kursi yang tak jauh dari kamar yang Alify pakai. Takut-takut, kekasihnya itu membutuhkan bantuannya. Mengingat tangannya yang masih harus terbalut perban.

Cklekk

Pintu kamar terbuka menampilkan Alify dengan pakaian yang menurut Rio asing. Tidak ada yang aneh hanya saja bagian leher yang terbuka lebar membuat sebagian area bahu terlihat, termasuk tulang selangkanya. Rio lantas mendekati Alify lalu memakaikan jaketnya yang terletak tak jauh darinya.

"Eh?"

Alify menatapnya bingung. Pandangannya disertai tatapan protes.

"Terlalu terbuka." Ujarnya singkat.

"Cepet beres-beres, kita harus pulang."

Rio merapihkan barang-barangnya yang berceceran diluar tasnya. Termasuk baju basah mereka. Sedangkan Alify memilih duduk dikursi makan yang tak jauh dari Rio berada.

"Bikin apa?" Tanyanya pada Juna yang duduk disampingnya.

"Pop mie, mau?"

Alify mengangguk.

"Sini gue suapin."

Juna mengarahkan garpu plastiknya pada Alify. Alify pun dengan senang hati membuka mulutnya. Pop mie sehabis renang memang perpaduan yang nikmat. Rasa hangat dan pedas seolah saling melengkapi untuk tubuhnya yang kedinginan.

"Ayo pulang." Suara Rio menginterupsi kegiatan Alify. Ia segera meminum air putih yang ada dihadapannya lalu menghampiri Rio.

"Gue balik duluan ya! Bye~" Pamitnya.

Setelah dibalas oleh beberapa temannya termasuk sang tuan rumah, Gibran. Alify dan Rio berjalan menuju mobil mereka. Memang sejak Alify sembuh sakit, Rio memutuskan untuk pergi menggunakan mobilnya. Sayang juga sih daripada tidak terpakai, yang ada nanti malah rusak.

"Rio.. mau pop mie.." Alify menyuarakan keinginannya ketika keduanya telah masuk ke dalam mobil.

"Pakai seatbeltnya." Ujar Rio tak menanggapi permintaan Alify tersebut.

Alify menurut. "Beli pop mie ya?"

Rio mulai menjalankan mesinnya. Kendaraannya mulai berjalan menjauhi kediaman Gibran. Tatapannya fokus ke jalanan yang gelap, hanya diterangi lampu jalan dan lampu mobilnya saja.

"Rio ih!" Alify kembali bersuara.

"Apa sih?? Gue lagi nyetir."

"Mau pop mie!" Pekik Alify. Duduknya sudah tak benar, kini ia duduk menghadap Rio.

"Kan tadi udah?"

"Disuapin Juna." Lanjut Rio dengan nada penuh penekanan diakhir.

Mata Alify menyipit curiga kala Rio tal sedetikpun mengalihkan pandangan padanya. Ia menatap wajah Rio yang sangat-sangat fokus memperhatikan jalan. Perlahan tangan jahilnya menusuk pipi Rio.

"Apa sih, Lif?!"

"Marah ya?" Alify merengut.

"Engga. Marah kenapa?" Jawab Rio dengan tenang, namun tak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari Alify.

"Coba liat sini kalau gak marah." Tantang Alify.

"Apaan sih, gue lagi nyetir. Mau nabrak??"

Alify mendengus. "Bohong!"

Lantas ia kembali dengan posisi benarnya. Pandangannya dialihkan ke jendela. Suasana didalam mobil selama diperjalanan menuju rumah Alify sangatlah sepi. Radio pun enggan diputar oleh keduanya.

Jalanan yang cukup lenggang karena hari sudah malam membuat waktu yang ditempuh menyingkat. Rio menginjak remnya tepat didepan pagar kediaman Alify. Keduanya masih diam dengan Rio yang masih memegang stirnya dan Alify yang memalingkan wajahnya.

"Lif.."

Alify menoleh. Akhirnya Rio menatapnya setelah sejak tadi tak ingin menoleh padanya.

"Gue cemburu."

"Gue tau kalian udah lama sahabatan. Tapi gue cemburu."

"Sorry.."

Alify menghela nafasnya. Ia memutar duduknya menjadi menghadap kepada Rio. Tangannya terulur untuk menangkup salah satu pipi Rio yang tirus.

"Gak apa-apa. Cemburu artinya sayang, kan?"

Alify mengulum senyumnya.

"Tapi lo harus sadar kalau perasaan gue untuk lo doang. Apa yang lo takutin dari gue yang terlalu deket sama Gibran, Juna dan lainnya? Gak ada."

"Gak ada yang perlu lo takutin karna persahabatan kita udah berjalan lebih dari setahun. Kalau mereka emang suka sama gue, harusnya mereka udah pacaran sama gue. Tapi buktinya? Malah lo yang jadi pacar gue, kan?"

Rio mengangguk.

"Gak apa-apa cemburu. Asal gak cemburu buta aja. Oke?"

"Hm." Rio kembali mengangguk namun kini disertai senyumnya.

"Sana masuk. Makan dulu terus tidur ya?"

Kini bagian Alify yang menanggukkan kepalanya. "

Bukain dong seatbeltnya." Pintanya manja.

Rio hanya terkekeh namun tetap menuruti perintah kekasihnya itu. Selepas seatbelt terbuka, Alify menyampirkan tasnya di bahu.

"Titip salam untuk Ayah sama Ibu ya."

"Iya, lo pulangnya hati-hati. Kalau udah di rumah, chat ya."

Rio mengangguk, lantas Alify membuka pintu mobil disisinya lalu keluar. Setelah melambaikan tangannya kepada Rio, ia segera memasuki rumahnya yang sudah terang dibantu cahaya lampu.

"Baru pulang, Alify?" Suara sang Ibu menyapanya membuat Alify sedikit terkejut.

"Ibu dari kapan disitu?"

Sarah mengangkat kedua bahunya. "Sejak dengar suara mobil berhenti di depan?"

"Lama banget di mobilnya? Gak macam-macam kan?" Tanya Sarah curiga.

Alify mengerang. "Gak lah, Bu. Tangan aku masih digendong gini yang ada makin parah kalau macam-macam."

"Syukurlah kalau masih tau diri. Ayo masuk, udara malam tidak sehat."

Alify mengangguk lalu berjalan memasuki kediamannya dengan Sarah yang merangkul punggungnya.

"Mau makan?"

"Pengen pop mie, Bu. Tadi aku minta beliin ke Rio tapi gak dia kasih." Adunya dengan bibir yang dimajukan.

"Tumben? Kenapa? Kamu nakal ya?"

"Hehe.." Alify tertawa mengingat sifat Rio tadi.

"Rio cemburu tau aku disuapin Juna. Lucu banget dia."

Sarah menggelengkan kepalanya. "Cemburu kok lucu? Kalau kalian marahan nanti yang uring-uringan juga kamu." Ujar Sarah meledek.

Alify hanya memamerkan senyumnya membetulkan ucapan Sarah mengingat keributan-keributan kecil yang pernah ia lakukan dengan Rio meski sekedar kesalah pahaman doang.

Brandaly GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang