Rio terbangun saat alarm di ponselnya berbunyi. Ia segera mematikannya dan melihat kearah jam yang ada di dinding kamarnya. Selagi ia mengumpulkan nyawa, otaknya mengingat-ngingat apa yang sebelumnya terjadi.
"Anjir gue harus nganterin si Alif ya." Gumamnya sebelum berangkat menuju kamar mandi.
Namun langkahnya terhenti ketika ia hendak mengambil handuk yang tergantung di dinding. "Eh harusnya kan si Alif tidur disini."
Rio baru sadar kalau ia tidur di kamarnya. Bukan di kamar tamu. Ingatan Rio seketika terkumpul sempurna saat mengingat terakhir kali apa yang ia lakukan.
Ia segera berlari keluar kamarnya dan menuju lantai bawah. "Lif? Alify??"
Rio membuka kamar tamunya, namun isinya kosong. Ia melihat ke sofa yang semalam ia tiduri sebentar, namun sepi dan rapih. Langkahnya membawanya ke dapur, tapi tetap saja tidak ada siapa-siapa.
Rio kembali berlari menuju kamarnya dan membuka ponselnya. Disana ia mendapat beberapa pesan dari teman sebangkunya itu.
Alif y
○Yo?
○Lo marah ya? Maaf ya kalau gue gak sopan.
○Gue gak tau harus gimana bangunin lo saat itu, jadi milih guyur lo pake air hehe.
○Gue balik duluan ya.
○Sorry lagi nih gak pamit.
○Makasih tumpangannya, ortu lo baik banget. Perut gue juga kenyang hehe.
○Sorry sekali lagi.
○Nanti ketemu deh di sekolah.Rio tersenyum membaca pesan Alify yang entah lucunya darimana. Setidaknya pesan itu membuatnya lega dan bisa kembali melangkah ke kamar mandi dengan ringan.
***
Alify duduk dibangku samping Gibran untuk melihat keadaan temannya itu. Memang benar, pipi Gibran terlihat lebam tanda bahwa yang ia katakan kemarin tidak bohong. Namun pemuda itu justru menganggapnya enteng seolah itu hal yang biasa.
"Gue denger-denger lo makin deket sama kakak tiri lu?" Gibran bertanya ketika keduanya cukup lama terdiam.
"Yang mana? Calon kakak tiri gue ada tiga masalahnya."
Gibran tertawa. "Kak Malvin, kakak kelas."
"Oh, Malvin. Dia emang yang paling deket. Tapi sama yang lainnya gak pernah kontakan lagi. Pada sibuk kerja mungkin?"
Gibran mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oh ya, besok anak-anak mau sparing katanya."
"Dimana?"
"Lapangan indoor pusaka. Pulang sekolah. Mau ikut? Kalau mau besok gue bawa helm kuning."
Alify tertawa sesaat ketika mengingat helm kuning Gibran yang selalu dipakainya. "Pengen ikut, tapi gimana besok deh. Bokap gue kan nikah bentar lagi. Terus Malvin juga sering nganter pulang gue terus. Nanti deh gue kabarin lagi."
"Oke, paling lambat ntar malem ye."
Alify mengangguk. "Gue balik kelas deh ya. Kalau bokap gue macem-macem lagi bilang gue aja. Oke?"
Gibran hanya mengacungkan jempolnya sampai Alify beranjak meninggalkan kelasnya. Setelah itu, Alify pergi menuju kelas Malvin yang hanya berbeda beberapa kelas dari kelas Gibran.
Namun langkahnya terhenti ketika menemukan Malvin yang memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan. Baru selangkah Alify mendekat, Ayahnya muncul dari dalam kelas.
"Alify!" Panggil Ayahnya yang sukses membuat para siswa yang berada diluar menoleh padanya.
Alify mendecak kesal. Malu. Ayahnya memalukan.
"Apa? Kalau Ayah mau tanya aku kemana jangan disini deh, malu." Jawab Alify tak kalah nyaring.
"Masuk mobil. Kamu ijin hari ini." Ujar Ayahnya telak sebelum beranjak menarik tangan Alify menuju parkiran.

KAMU SEDANG MEMBACA
Brandaly Girl
General Fiction[SUDAH DIREVISI] Terdapat beberapa kata kasar dan kissing didalam cerita ini. Mohon bijak dalam membaca. -------- Alify harus menerima ketika Ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang wanita yang memiliki tiga putra yang mana ketiganya akan men...