Alify sudah dibolehkan untuk keluar dari rumah sakit walau harus kontrol seminggu sekali. Banyak perkembangan yang telah terjadi pada tubuhnya, salah satunya ketakutannya terhadap Ayah dan Kakaknya. Mungkin, karena mereka sering bertemu membuat Alify sudah hafal akan sikap mereka.
Rio kali ini membantu Alify memasuki rumahnya. Tangannya digandeng erat oleh Alify bahkan saat dimobil tadi. Sehingga motor yang ia bawa untuk ke rumah sakit, terpaksa dipakai oleh Cakka.
Tak berselang lama, Mama Rio disusul Dio datang ke rumah Alify. Niatnya mereka kini akan melakukan terapi dengan bantuan Mama Rio. Dio akan menjadi orang pertama yang akan dicoba.
Mereka kini tengah berkumpul di ruang tamu. Hanya ada Sarah, Dio, Alify, Rio dan Mamanya. Gunawan dan Cakka serta Malvin telah izin pergi karena harus bekerja. Sehingga membuat hanya ada Sarah dan Alify disana.
"Rio..."
Alify beringsut bersembunyi dibalik tubuh Rio. Takut ketika Dio balas menatapnya dengan senyuman.
Rio mengelus tangan Alify yang mencengkramnya dengan kuat di lengannya. "Tenang, Lif. Kan ada gue sekarang."
"Sekarang ikutin perintah Mama gue dulu ya?"
Alify menggeleng. Tangannya berkeringat, dapat Rio rasakan. Cengkramannya juga semakin kuat.
"Alify, ini mama, nak. Lihat deh mata Mama, kamu pernah menginap kan dirumah, Rio?" Ujar Mama Rio dengan lembut.
Tangannya beralih menarik Dio yang ada disampingnya. "Ini Dio, teman Alify dan Rio. Ingat tidak? Kalian sering sekali kerja kelompok bersama."
"Rio.." Bukannya menjawab, Alify malah menatap melas kearah Rio. Keringatnya sangat jelas membanjiri keningnya membuat beberapa anak rambutnya lepek.
"Lihat dulu matanya, lo pasti bisa." Bisik Rio.
Alify menurut kali ini. Ia pelan-pelan mengarahkan matanya pada Dio dan Mama Rio. Namun tak berlangsung lama, ia kini hanya menatap Mama Rio saja.
"Alify ingat Mama?" Tanya Mama Rio, masih dengan suara lembutnya.
Alify mengangguk. "Maaf, Alify aneh ya?"
"Engga kok engga, kamu gak ada yang berubah. Tetap cantik kayak terakhir kita bertemu."
"Sekarang kamu boleh ceritain apa saja yang buat kamu ketakutan. Mama mau dengar."
Perlahan Alify membuka suaranya. Ia menceritakan semua ketakutan saat melihat Ayahnya bahkan kakak-kakaknya. Jangan lupakan juga dokter yang pernah akan memeriksanya sehingga sang Ayah turun tangan meminta diganti dengan dokter wanita.
Tak sampai situ, Alify bercerita dengan detail bagaimana ia disekap saat itu. Dari mulai ia meminta izin pulang lebih awal saat itu, hingga menemui Arka, lalu perlakuan Arka padanya yang membuatnya seperti itu.
"Aku sengaja beli beberapa gps saat pulang sekolah. Lalu menyimpannya didada dan saku seragam. Karena aku sudah memiliki firasat jika mereka akan menjebakku, namun tidak separah ini."
"Semalam sebelum menemui mereka, aku menulis surat. Aku benar-benar memikirkan hal-hal yang sekiranya akan terjadi, jadi membuat beberapa petunjuk pertolongan. Dan ternyata Tuhan mengabulkan doaku. Rencanaku tidak sia-sia."
"Tapi mereka terlambat, hiks.."
Alify mulai menangis. Ia mencengkram lengan Rio dengan erat. Sedangkan pahanya dielus oleh Mama Rio (karena tangan kanannya masih digips).
"Lanjutkan, nak."
Alify terisak, namun menurut. "Dia paksa aku. Dia- dia cengkram rahang aku, terus dipaksa minum alkohol. Hiks, dia suruh telan. Terus dia cium aku, Ma..."
Tangisan Alify semakin deras. Ia sudah terisak hebat kali ini. Benar-benar membuka lukanya kembali.
Rio menarik Alify kepelukannya. Membisikkan kata-kata penenang walau ia tak yakin bisa menenangkan Alify.
"Alify? Lihat sini."
Alify mendongak, menatap tepat kearah mata Mama Rio.
"Kamu sudah mengingat hal yang kamu takuti kan? Sekarang kamu ada disisi Rio. Kamu juga sekarang punya ponsel, jika ada apa-apa bisa hubungi keluarga kamu. Jadi, jangan takut lagi ya?"
Alify mengangguk pelan. "Ta- tapi kalau panik-"
"Gak apa-apa." Potong Mama Rio.
"Gak apa-apa kalau kamu panik. Itu wajar. Kamu lihat saja matanya. Kamu ingat-ingat waktu yang pernah kamu habis kan dengan orang itu. Kalau orang itu baik, ketakutanmu akan hilang."
"Kita coba ya?"
Alify lagi-lagi mengangguk.
Mama Rio memberi kode untuk menyuruh Dio mendekat. "Ini Dio. Teman sekelas kamu. Kamu ingat?"
"Coba tatap matanya."
Alify menatap mata Dio yang memandangnya sendu. Sepertinya Dio ikut sedih melihat kondisi temannya sendiri yang menjadi trauma seperti ini. Namun disamling itu ia harus bersyukur karena Alify masih bisa ditemukan dengan selamat.
"Fy.." Dio memanggil Alify pelan.
"Inget ga? Gue selalu ngejar lo dan anggap lo pacar gue? Tapi lo gak pernah marah sekalipun."
Alify tak menjawab. Ia masih menelisik tatapan Dio.
"Sekalinya lo marah sama gue gara-gara gue bohong soal uang beasiswa itu. Inget? Yang lo datang bawa pasukan lo terus lo berantem sama Rio sampai kalian bolos di UKS sampai jam terakhir?"
Kini giliran Mama Rio dan Sarah yang menoleh ke arah Rio. Seolah meminta penjelasan atas apa yang telah diucapkan Dio. Rio menelan ludahnya sendiri.
"B- Bang Riel t- tau kok." Jawab Rio terbata. Sial, ia seperti terciduk melakukan yang tidak-tidak.
"Kok bawa-bawa bang Riel?" Sarah bertanya.
"Itu.. gini.. jadi waktu itu kita ketiduran di UKS-"
"Kita??" Kini Mama Rio yang bertanya.
"I- iya.. aku sama Alify."
"Tapi kita gak ngapa-ngapain kok! Sumpah!"
Rio benar-benar panik sekarang. Apalagi Alify yang malah menatapnya seolah ia tak terlibat. Dalam hati ia mengumpat, rasanya seperti terciduk berbuat mesum -walau benar dia sempat mencium Alify.
"Coba lanjutkan Rio."
"Ya gitu.. Alify emosi, ngomongnya kasar, jadi Rio kurung di UKS. Terus kita ketiduran, bangun-bangun Bang Riel telepon dan Rio bilang hal ini."
"Tapi gak ngapa-ngapain, kan?!"
"Alify, kamu gak diapa-apain sama Rio, kan?"
Mama Rio langsung menyerbunya dengan pertanyaan.
"Rio gak ngapa-ngapain, Ma. Sumpah. Lagian itu kan sekolah, mana mungkin??"
"Jadi kalau di rumah, mungkin, Yo?"
Dio babi! Rio melayangkan tatapan tajamnya kearah Dio. Memberikan peringatan atas pertanyaannya yang semakin membuat kepercayaan dua orang ibu-ibu ini semakin tipis kepadanya.
"Rio? Benar?" Sarah kembali angkat bicara.
"Engga, Tan. Sumpah. Selama ini kita pacaran sehat. Iya kan, Lif?"
Alify menggeleng. "Gatau, Rio. Gue gak inget."
Jawaban Alify malah membuat Rio semakin frustasi. Ia mengehela nafasnya lalu memasang wajah melas. "Ma, Tan, please??"
"Iya, Yo. Tante percaya kamu kok." Ujar Sarah yang membuat Rio tersenyum lega.
"Kita bahas ini di rumah nanti." Jawab Mama Rio yang belum bisa Rio katakan lega.
"Sekarang kita fokus ke Alify dulu." Lanjutnya.
Kemudian sesi terapi itu dilanjutkan berjalan dengan dimulai dari pendekatan Alify dengan Dio. Rio hanya bisa menghela nafasnya. Alamat ia akan disidang sepulang dari sini nanti.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Brandaly Girl
General Fiction[SUDAH DIREVISI] Terdapat beberapa kata kasar dan kissing didalam cerita ini. Mohon bijak dalam membaca. -------- Alify harus menerima ketika Ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang wanita yang memiliki tiga putra yang mana ketiganya akan men...