Pro-Log

1.7K 111 40
                                    

Masih terekam jelas di ingatan Jihan ketika Dimas mengajaknya duduk di warung kopi malam-malam sambil menyesap es teh manis. Jihan menutupi lebam-lebam di tubuhnya dengan hoodie hitam, habis dipukuli oleh Ayah. Dan setiap kali ia bertemu dengan Dimas, orang itu tak pernah lelah memberi perhatian lebih dan juga petuah untuk terus berjuang.

Dimas pernah bertanya, "Kamu punya mimpi gak?"

"Mimpiku itu jadi produser musik, Bang." Jihan membalas sambil memainkan sedotan es tehnya, "Bikin agensi juga keren. Pianis juga keren. Aku mau jadi apapun itu yang berhubungan dengan musik."

Hampir semua orang pun tahu bahwa Jihan ahli memainkan piano. Selain piano, anak itu juga pandai bermain biola dan saxophone.

Jihan sangat mencintai musik. Kalau diibaratkan, musik adalah separuh napasnya untuk bertahan hidup. Jika senang, Jihan akan menekan tuts piano. Jika sedih, Jihan melakukan hal yang sama. Jika bingung, ia kembali lagi ke hal yang sama. Apapun keadaannya, musik bisa jadi pelipur lara yang melanda.

Tapi malam itu, Dimas berkata, "Mimpi kamu bagus. Tapi sayangnya, gak semua orang mau kamu jadi musisi. Manusia itu saling mengandalkan, salah satu yang kamu suka harus ada yang direlakan."

Ayah Jihan tidak akan pernah membiarkan Jihan meraih mimpinya sebagai musisi. Setelah anak sulung ayah enggan mengambil alih perusahaan, Jihan terpaksa nurut kata-kata Ayah. Berkali-kali cambuk dilayangkan ke punggungnya, umpatan-umpatan kasar yang berbekas turut diselipkan di setiap luka.

Mama selalu berada di belakang Jihan sambil memberi sokongan. Tapi faktanya, sebesar apapun Mama mendukung, tetap saja dia harus mempertaruhkan air mata dan keringatnya sendirian untuk mimpinya tersebut.

Semua orang tidak pernah sendirian.

Jihan punya Mama. Tapi rasanya, dia selalu sendiri. Dalam ruangan tanpa intensitas cahaya sedikitpun, dia tidak mampu kemana-mana karena tidak bisa melihat. Kaki dan tangannya bebas bergerak, indra penciuman dan pendengaran berfungsi normal. Tapi semua itu tidak seberguna biasanya jika Jihan terkurung di ruang gelap gulita yang sunyi, hingga ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri.

Tuhan...

Saya punya permohonan. Jangan buat saya merasa kesepian lagi. Saya butuh orang yang mampu buat saya bergerak bebas meski itu dalam ruang gelap sekalipun.

Mau sebanyak apapun Jihan meminta, rasanya Tuhan tidak pernah mengabulkan doanya.

Tapi malam itu, ketika Jihan tengah berkaca di depan cermin dengan lebam yang memenuhi seluruh tubuhnya, Jihan berhasil dibuat tertegun atas kehadiran sosok yang tidak pernah Jihan duga kedatangannya, Seth.

"Kenapa Jihan selalu kalah setiap kali tengkar sama Ayah?"

◀❇❇✳❇❇▶

⚠⚠

—Disclaimer—

Cerita ini dibuat murni dari pemikiran saya sendiri. Mau dari alur, latar, pun watak karakter tanpa ada campur tangan orang lain. Semua merupakan imajinasi fiksi dari pengarang. Apabila ada kesamaan, itu terjadi secara kebetulan.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang