55. Tentang Gibran

28.8K 4.1K 1.1K
                                    


Penyesalan tak berguna ketika pisau takdir telah memisahkan
-Big Baby

...

"Naura udah bahagia sama Mama yah? Gue boleh nimbrung ga?"
-Algbrn

...

Mereka egois, ga pernah mikirin mental anaknya lagi baik-baik aja atau engga
-Bikablue

.ʕ•ε•ʔ.
.
.
.

Gelap, satu kata itu mendeskripsikan seluruh hal dalam hidupnya. Entah itu suasana, tempat, jiwa, pandangan, bahkan hidup. Usai sudah, hampir setengah jiwanya pergi bersama tiadanya sang adik. Namun tetap terasa menyiksa saat jiwanya kembali ditarik paksa untuk merasakan penyesalan itu lagi.

Pemuda itu menyayangkan, mengapa disaat Ia kecelakaan nyawanya tidak hilang saat itu juga. Berulang kali Ia berusaha menjemput adiknya dengan cara sendiri, Ia selalu gagal. Seolah semesta tak mengijinkannya untuk bertemu dengan sang adik dan lebih senang menyiksanya dengan penyesalan tak berujung.

  Meringkuk bak janin dilantai dingin dengan layar yang menampilkan senyum manis sang adik ditangannya. Saat itu adiknya tengah membajak ponsel dan merekam kegiatan mereka yang tengah berjalan-jalan sore memburu pedagang cilok.

"Hallo guys, welkambek tu mai cenel! Jadi hari ini Yura lagi nyari cilok guys! eh itu dagang ciloknya guys! namanya cilok basah ketek guys! mari kita coba guys!"  sapanya dengan senyum manis sementara si pemilik ponsel hanya meminta maaf melalui isyarat tangan dan gerak bibir.

Gibran tertawa kecil walau dengan lelehan air mata melihat kenangan itu. Kenangan yang takkan bisa terulang karena Ia sendiri sekarang. Jarinya menggeser layar, melihat foto-foto lain difolder yang isinya hanya foto dan video Naura. Ia mengobati rindu namun juga menyiksa dirinya sendiri.

Sampai akhirnya Ia berhenti difoto yang menampilkan seorang wanita cantik nan anggun dengan menggenggam tangan mungil anak laki-laki dan bayi mungil digendongannya. Foto yang Gibran temukan diruang tamu bersama dengan darah sang adik yang menggenang dan sebilah pisau tak jauh dari itu.

Tempat dimana sang adik memilih menyerah dititik terendah dari lima belas tahun lamanya Ia hidup. Dititik dimana Ia hanya sendiri, takda yang berada dipihaknya.

"Naura udah bahagia sama Mama ya? Seru banget kayanya... gue boleh ikut ga? Disini sakit Ra," ucapnya lirih. Tak ada kata kering untuk air matanya karena nyatanya kini Ia kembali menangis untuk kesekian kali.

Merasa hatinya kembali sakit Gibran memilih menyudahi acara penyiksaannya sendiri. Namun Ia juga takut untuk berlabuh kealam mimpi karena mimpi yang terputar hanya tentang kesedihan sang adik dulu. Dan itu terjadi karenanya.

"Bang Gib, Yura udah dijahatin Papa kenapa bang Gib ikut jahatin Yura?"

"Bang Gib, Yura mau nyusul Mami... Bang Gib sekarang ikut jahatin Yura"

"Andai Yura ga lahir di keluarga ini, mereka ga pernah mikirin mental Yura lagi gimana... kalau gila paling dibawa ke dukun"

"Bang Gib pergi aja ke Jepang, Yura juga mau pergi nyusul Mami"

Naura memang tidak pernah mengatakan itu. Semua mimpi itu berasal dari diri Gibran sendiri, melihat bagaimana sikapnya pada Naura selama ini. Gadis itu tidak pernah mengatakan apapun tentang apa yang Ia rasakan, hanya wajah ceria yang begitu menipu hingga Gibran tak sadar luka didalamnya terlampau perih.

Big BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang