Perjalanan menuju tempat yang dimaksud oleh Lia itu cukup jauh walaupun masih di kota yang sama. Sesampainya di tempat tersebut, Asahi dan Lia langsung menemui Younghoon yang sudah sampai di sana lebih dulu.
"Sayang apa kabar? kali ini kami datang bertiga, semoga kamu senang ya," ucap Younghoon sembari tersenyum walau tak terpungkiri ia masih sedih.
"Bu, Lia kangen. Oh iya, sekarang Lia udah kelas dua belas. Lia janji bakalan belajar lebih giat lagi biar bisa masuk universitas yang Lia janjiin ke ibu"
"Ibu..."
Asahi mengehentikan ucapannya, entah lah. Sebenarnya banyak sekali yang ingin ia ucapkan, namun tidak semudah itu. Ingatan mengerikan itu selalu ada kalau harus membicarakan mengenai ibunya.
Younghoon mengusap punggung Asahi, ia paham sekali bagaimana perasaan putranya itu. Tidak ada yang kuat untuk menahan rasa itu, ia dan Lia pun sama.
"Sayang, Asahi mau main piano lagi di acara sekolahnya. Putra kita ini jago banget sama kayak kamu, aku yakin kamu pasti bangga."
"Maafkan kami yang masih gak bisa lepas dari bayangan masa lalu, namun kami tetap berusaha mengikhlaskan. Hanya saja itu cukup berat. Aku janji akan selalu menjaga Asahi dan Lia, kamu istirahat yang tenang ya," lanjut Younghoon.
"Bu, Asahi bangga punya ibu sepertimu. Maafin Asa yang gak pernah bilang lebih awal. Ibu baik-baik ya."
Akhirnya kalimat itu terucap juga oleh Asahi. Walaupun itu hanya sebagian saja, namun perasaannya lebih tenang sekarang.
"Kami pulang dulu ya sayang," ucap Younghoon sembari mengusap nisan kuburan mendiang istrinya.
"Bu, kami pulang ya," lanjut Lia.
Selesai berpamitan, Asahi, Lia dan Younghoon berjalan bersama menuju parkiran. Mereka tidak langsung pulang, karena ada acara tahlilan nanti malam di rumah orang tua istri Younghoon atau kakek nenek Lia dan Asahi.
.
"Asahi."
"Iya nek," jawab Asahi membalas perkataan neneknya.
"Bagaimana sekolahmu?"
"Baik-baik aja nek."
"Syukurlah, nenek gak mau kamu sedih terus ya. Semua udah jalannya seperti itu, kamu harus giat belajar sampai jadi orang sukses. Ibumu pasti bangga nak," ucap nenek Asahi sembari mengusap punggung cucu laki-lakinya itu.
"Iya nek."
"Kakek dengar kamu sekarang sangat dingin pada ayahmu"
"Kakek," Nenek Asahi menggelengkan kepala pada suaminya. Itu bertanda, lebih baik jangan membicarakan hal tersebut.
"Kakek harus bicara nek, demi Asahi juga."
"Tapi kek..."
"Gapapa nek, kakek benar. Maafin Asahi."
"Dengar ya nak, kakek dan nenekmu ini juga sangat merasa kehilangan. Siapa yang siap kehilangan anak sendiri. Kami yang sudah tua ini merasa sedih harus merelakan ibumu secepat itu."
"Maafin Asa kakek."
"Tidak nak, kakek paham. Kamu masih remaja, egomu masih tinggi. Namun, ayahmu tetap ayahmu. Kamu harus hormat padanya. Ingat ya, kecelakaan itu sudah takdir ibumu. Ayahmu tidak salah sama sekali."
Asahi mengangguk, ia tahu bahwa dirinya salah telah dingin pada ayahnya sendiri hanya karena kejadian kecelakaan itu. Sepertinya Asahi belum mengikhlaskan dengan sungguh-sungguh atas kepergian ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
17 Tahun (Lalu) - Asahi Ryujin
Fanfiction[COMPLETED] ✓ "Adakalanya kisah cinta itu tak harus selamanya dimiliki, namun cukup untuk dikenang." - 17 Tahun (Lalu) Bagaimana kisah cintamu saat berusia tujuh belas tahun? Ayah bilang cinta masa sekolah itu hanya "cinta monyet". Nanti saat sudah...