EPS. 12 | CURHAT

96 32 0
                                    

KINI Natu sedang serius mengerjakan tugas sejarah sialan tadi. Sedangkan aku masih lamat memerhatikannya seraya menyeruput kopi. Tumben dia bisa serius dalam hal beginian, biasanya dikasih tugas 5 soal saja sudah mengeluh berbagai alasan.

"Nat, boleh tanya sesuatu?" tanyaku meminta izin. Natu hanya ber-emm pelan menjawabnya. "Gimana... rasanya menyukai lawan jenis?"

Seketika Natu menoleh menatapku dengan melotot. "Jadi, selama ini kamu menyukai sesama jenis?!" serunya kaget.

"Bukan gitu! Aku hanya ingin tahu rasanya. Jujur aku belum pernah mempunyai perasaan terhadap laki-laki."

"Serius?" tanyanya yang kujawab dengan anggukan. "Emm... rasanya tuh seperti terbang di angkasa, namun tak lama lagi kamu akan diambleskan dengan kenyataan yang ada," jelasnya membuatku menggigit bibir.

"Jadi sekarang... kamu sedang galau akibat Nema?"

Natu menghela napas pendek dan mengangguk. "Kamu tahu, aku sudah lama menyukainya sejak pertama kali kami bertemu. Tapi... perasaan ini hanya muncul sepihak dan tak terbalaskan, justru menjadi sangat pedih ketika melihat kenyataan pahit sekarang ini," lanjutnya yang sangat puitis.

"Wohoo, Nat! Aku nggak nyangka kamu pandai dalam sastra puisi. Tapi kenapa nilai bahasamu selalu jelek?"

"Ihh, La aku serius!" gerutunya sebal membuatku langsung terdiam. Perasaan aku sudah serius menanggapi omongannya.

"La," panggilnya kemudian seraya menatapku serius. Aku hanya menaikkan satu alis.

"Maka dari itu, La. Dengan hal ini aku, Natu Yamali selaku sahabat sejati yang tak akan membiarkanmu tersakiti, mengatakan bahwa jangan sekali-kali berteman dengan lelaki selain aku. Cukuplah Yamali ini yang akan selalu mendampingi hingga kamu menemukan pasangan sehidup semati yang tepat di mata Tuhan," jelasnya membuatku terharu.

"Ah, lu bisa aje, Nat," balasku seraya tertawa.

"Dengan kata lain berhentilah berteman dengan Mavi," sambungnya yang membuatku bungkam. Seketika otakku kembali mengingat kejadian kemarin hingga galau hati ini.

"Kenapa, La?" tanya Natu yang peka dengan ekspresiku.

"Aku... sudah tak bersama dengan Mavi lagi, Nat," jawabku sedikit lesu.

"Beneran? Serius? Omg, hellow! Lu kenapa ga bilang dari awal sih, La? Sejak kapan kalian musuhan? Seminggu? Sebulan? Jangan-jangan udah lama lagi? Ckck, akhirnya... lu nurut juga ama gue," serunya turut bersuka cita.

"Bukan gitu, Nat. Masalahnya ini disuruh sama Mama. Yang bikin kesel tuh, alasannya yang nggak jelas."

"Nah, 'kan! Orang tuamu saja tak merestui. Memang kekuatan batin seorang ibu selalu benar. Mavi nggak baik buatmu, La. Kelakuannya saja macam buaya jantan. Aku dukung dia sama Imal saja."

"Natu!" seruku langsung menggebuk punggungnya, membuat ia berteriak tertahan. Entah kenapa aku terlalu sensitif bila Mavi disangkut pautkan dengan Imal.

"Mavi orangnya baik, Nat. Perlakuannya terhadapku tulus, layaknya seorang teman. Bahkan sifat rajin belajarnya menular padaku, bukankah itu bagus?"

Natu yang tengah menegak kopi pun menggeleng. "Nggak, nggak bagus. Tetaplah malas dan bodoh bersama hingga lulus."

"NATUU!!" Seruku langsung menjambaknya.

"AAAA!"

***

Malam hari setelah makan bersama Kak Sinq, aku menuju Kafe Domine untuk bertemu dengan Aish. Sesampainya di sana, aku celingak-celinguk melihat sekitar. Tak lama kumelihat seseorang yang tengah melambaikan tangan seraya tersenyum girang menatapku. Mungkin ia adalah orangnya, namun dari mana dia tahu wajahku?

Atela's Journal [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang