AKU mengerjapkan mata. Perlahan mulai mendongakan kepala melihat sekitar. Gelap. Hanya ada satu lampu yang menyala remang di sudut ruangan. Aku menunduk melihat ke bawah. Dengan tali yang melilit erat tubuhku, aku duduk di kursi yang sudah setengah rusak. Kursi ini memang terdapat 4 kaki, namun 1 di antaranya sedikit cacat membuatku khawatir.
Tempat yang gelap, sunyi, dan lembap ini... mirip seperti ruangan yang telah lama tak digunakan. Suara air menetes terdengar menggema entah berasal dari mana. Mungkin saja tempat ini merupakan persembunyian Mavi. Dengan penasaran aku pun melihat sekitar agar bisa menulusurinya lebih jauh. Mendadak rasa terkejutku muncul akibat melihat sisi kiri ruangan. Terdapat papan tulis besar dengan berbagai macam kertas yang menempel hingga sempurna menutupi permukaannya. Fotoku, Kak Sinq, Mavi, hingga foto nenek Mavi terpampang jelas di tengah-tengahnya. Aku menyipitkan mata, melihat perbedaan keempatnya.
Terdapat tanda centang besar yang menutupi seluruh foto nenek, sedangkan milik Kak Sinq hanya ada tanda silang di bagian wajah. Walau ruangan ini gelap, coretan besar itu masih terlihat jelas akibat warnanya yang mencolok. Aku pun menoleh ke kiri dan menemukan berbagai macam benda misterius. Sebuah koper hingga alat-alat tulis di atas meja, membuatnya terlihat sangat berantakan. Ada juga tumpukan kertas koran dan kotak-kotak kado yang jelas membuatku mengerutkan dahi.
Lantai, dinding, dan atap tempat ini sungguhlah lembap. Banyak keramik yang pecah hingga sudut ruangan yang dipenuhi sarang laba-laba. Bahkan sepertinya tempat ini tidak pernah dibersihkan terlebih direnovasi.
Sejujurnya, aku tak dapat merasakan apapun saat ini. Rasa marah, sedih, bahagia, senang, atau apapun itu. Sungguh hambar emosiku. Karena itu aku hanya berdiam diri tanpa kondisi panik dan takut yang menyelimuti. Tak ada keinginan sedikit pun untuk melarikan diri. Atau bahkan menyerang balik penculik tadi yang kukenal sebagai Mavi.
Tap! Tap! Terdengar langkah sepatu seseorang membuatku menoleh ke arah pintu. Tak lama muncul lelaki bertubuh tinggi dengan pakaian yang masih serupa dengan sebelumnya. Tak mungkin tubuh genter itu milik seorang wanita.
Ia pun berjalan mendekati, membuatku harus mendongak. Namun aku hanya menatapnya datar.
"Hai, La..." sapa orang itu demgan suara serak yang sontak membuat dahiku mengerut.
"Apa kabar?"
T-tunggu, kenapa-
Tanpa kusuruh orang itu lebih dulu membuka penutup hoodie di kepalanya. Lalu membuka apa-apa yang menutupi wajahnya. Di detik itupun mataku membulat dengan sempurna.
B-bukan Mavi?!
"Hai, Nak. Bagaimana kabarmu?"
B-bagaimana mungkin...? Dia bukanlah Mavi yang kupikir selama ini?!
"Hei, kamu tak ingin tahu siapa aku?" tanya orang itu yang jelas membuatku kaget bukan kepalang.
Ia pun terkekeh pelan seraya membungkukkan badan. Sontak jantungku berdetak lebih cepat akibat wajah amat tampan itu yang dekat denganku. "Aku... Stephano Tcanst Hydonielsen. Panggil saja Paman Cans."
Dahiku yang semula berkerut menjadi tambah menekuk layaknya keriput setelah mendengar ucapannya. "Nama macam apa itu?" celetukku tanpa sadar.
Plak! Tahu-tahu tangannya menampar pipiku yang lagi-lagi membuat mataku mendelik.
"Beraninya kamu mencela namaku!" serunya dengan tatapan marah. "Kau tahu, nama itu adalah nama amat anggun dari semua nama yang ada di kerabatku sendiri."
A-apa-apaan? Tadi jelas-jelas ia menyapaku dengan nada lembut dan mendadak menjadi marah hanya karena perkataanku barusan?
"Apa kamu tidak ingin bertanya tentangku lebih jauh?" tanyanya dengan wajah antusias. Perubahan ekspresinya yang sangat drastis sungguh membuatku merinding.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atela's Journal [FINISHED]
Teen Fictioncover: pinterest, @linart112 Hidup bersama pasangan, bisa mengggenggam tangannya setiap hari, bukankah semua orang menginginkan ending seperti itu? Selalu menampakkan wajah ceria dengan senyun yang merekah di bibir saat menghabiskan waktu bersama. A...