EPS. 47 | MEMBANTAH

24 1 0
                                    

RUANG kelas, pukul 07.18

"Bukan begitu, Natu. Dengerin-"

"Nggak, nggak bisa. Kamu sendiri yang bilang kalau baju mereka sama!"

"Tapi-"

"Gada tapi-tapi-an, Ma. Sekalinya sama tetap sama!" balas Natu membantah.

"Tapi Nat..." dengan cepat Nema pun menoleh ke arahku. Buru-buru ia merangkak kecil dari meja Natu ke mejaku. "La... k-kamu percaya padaku 'kan, kalau bukan dia pelakunya...? Kumohon jangan berpikiran negatif tentangnya. Kita tahu sendiri bukan... bila hal itu sangatlah mustahil dilakukan oleh seorang Mavi," ucapnya dengan tatapan memelas, seraya menggenggam lenganku erat.

"Sudahlah, Ma. Tak perlu memohon sampai segitunya. Aku juga mempunyai beberapa alasan lain yang mendukung pemikiran itu," balasku seraya melepaskan tangan Nema.

"B-benarkah...?" tanya Nema dengan tatapan tak percaya. Seolah-olah harapan Mavi bukanlah sang pelaku mendadak lenyap di otaknya. Ia pun menutup mulut rapat-rapat dengan mata melotot lebar.

"Emang bener yang kubilang saat itu. Lelaki seganteng Mavi mana mungkin tidak brengsek!" seru Natu pelan seraya mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. "Beruntung kamu nggak nekat pergi ke pabrik tua itu sendirian. Kalau tak, pasti Mavi sudah menganiayamu bahkan lebih parah lagi," ucapnya seraya menatapku serius. Aku hanya balas dengan helaan napas.

"Ayolah, kawan. Dia tidak sepe-"

Kalimat Nema mendadak terpotong dikala seseorang masuk ke dalam kelas. Tampak wajah yang amat letih dengan bibir pucat pasi, ia berjalan sedikit tertatih melewati papan tulis. Aku pun menaikkan satu alis melihatnya. Mavi... sakit?

Sontak Natu pun terbahak melihatnya. "Kasian kena karma," gumamnya diringi dengan senyum miring. Aku memutar bola mata malas, sembari mengambil buku mapel hari ini.

"L-la, kamu nggak mau menghampirinya...? Dia sepertinya sedang sakit," ucap Nema sembari menatap Mavi dengan cemas.

"Lo aja deh. Lo 'kan lebih milih anak brengsek dari pada sahabatnya sendiri," balasku seraya beranjak pergi. Seketika mata Nema mendelik lebar mendengarnya.

"B-bukan gitu maksudku, La...!" Dengan cepat ia langsung meraih lenganku. Namun kutepis dengan kasar membuatnya oleng dan hampir terjungkal.

***

Cahaya matahari menyinari lembut lapangan sekolah. Burung yang berkicau di pepohonan masih terdengar di tengah lapangan. Kini aku, Nema, dan Natu tengah duduk di salah satu bangku perbatasan antara taman dengan lapangan basket. Aku menatap Nema yang berada di depanku dengan datar. Begitu pula dengan Natu yang tengah berdiri sembari mengunyah permen karet. Sedangkan yang kami tatap tertunduk lesu sambil memainkan jari-jarinya tidak jelas. Dia yang meminta kami untuk menuju sini.

"Jadi, kamu bilang apaan?" tanya Natu to the point, membuat Nema mendongak menatap kami.

"Aku... sangat yakin bukan Mavi pelakunya," ucapnya membuat kami sontak menghela napas. Mavi lagi, mavi lagi. Begitulah maksud dari tatapanku dan Natu.

"Jadi kamu hanya ingin bilang itu?" tanya Natu tak percaya.

"Dengarkan dulu, Natu. Se-sebenarnya... aku hanya ingin mengutarakan pendapat-"

"Tapi pendapatmu jelas-jelas salah, Nema," potong Natu tidak ingin dibantah.

"Bukan begitu...! Bisa saja orang yang kulihat di pabrik mempunyai hoodie yang serupa dengan Mavi. Lalu ia sengaja-"

"Hoodie milik Mavi hanya ada satu, Ma. Pemberian berharga dari neneknya semata," selaku datar, yang jelas membuat Nema terkejut.

"S-sungguhan...?"

Atela's Journal [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang