SEKARANG aku dan Mavi tengah berada di atap rumah sakit. Dan ia, masih saja terpingkal-pingkal akibat ceritaku. Mengenai ide konyol untuk memberi amplop ini tanpa harus bertemu. Mavi terbahak hingga mengeluarkan air mata, yang membuat maluku kian melunjak.
"Kamu mau kasih ini sampai segitunya?" seru Mavi dengan tawa.
"Nggak usah tertawa!" balasku galak. Semakin dia tertawa, semakin menghangat pula wajahku.
"Kamu lucu ya," ucapnya masih dengan tawa seraya menyenggol lenganku.
"Lucu apanya?!" balasku dengan pelototan.
"Tingkahmu kayak gini tuh kekanak-kanakan banget," ucapnya yang jelas membuatku naik darah. Aku langsung menjitaknya keras. Dia pun mengaduh kesakitan dan justru kembali terkekeh. "Terima kasih, La. Kamu datang tepat waktu. Aku sangat membutuhkanmu saat ini," lanjutnya seraya menatap pemandangan di depan kami.
"Tapi kenapa... kenapa kamu melakukan ini? Segitunya tidak ingin bertemu denganku."
"A-ah itu..." aku mengatupkan rahang, sontak rasa panik menyerangku. "Aku kira... kamu marah padaku."
"Marah? Soal apa?" tanyanya seraya menaikkan alis.
Aku tertawa aneh, berusaha menghilangkan rasa gugup. "Bukan apa-apa. Emm, gimana... kondisi nenekmu sekarang?"
"Syukurlah, semalam nenek sudah siuman. Sekarang beliau masih tertidur, makanya aku ajak kamu ke sini agar tak mengganggunya."
"Ah, gitu ya."
Lengang sejenak, sebelum tiba-tiba otakku memikirkan sesuatu.
"Mavi," panggilku membuatnya menoleh. "Kenapa... akhir-akhir ini sikapmu berubah?"
Mavi menghembuskan napas pelan. "Maaf, La. Beberapa hari terakhir aku sedang dilanda masalah. Karena itu... aku ingin menenangkan diri, menjauh dari kerumunan orang. Termasuk kamu," jawabnya lalu menoleh menatapku. "Terlebih bukankah aku harus menjaga jarak denganmu?"
Sontak aku balik menatap Mavi. "Apa karena ucapan ibuku kemarin?" tanyaku yang lebih mirip dengan pernyataan. Dia mengangguk membalasnya.
"Kenapa? Kamu saja tidak tahu alasannya."
"Ibumu, seperti memaksaku," cetusnya tampak santai, yang jelas membuatku terkejut. "Tapi sekarang... aku baru sadar. Betapa pentingnya keberadaanmu dalam hidupku."
"Aku...?" tanyaku tak percaya.
"Iya, sebagai teman yang saling menemani bukan? Begitu pula dengan Guto."
Ah, kukira...
Seketika mataku terbelalak dan langsung menggelengkan kepala kuat. Apa yang lo harapin, bodoh?!
"La... mau tahu, seperti apa kejadian yang sebenarnya saat itu?" tanya Mavi sembari menatap langit, tak lama ia menoleh kembali menatapku.
Aku mengangguk mantap. Jujur aku ingin mengetahuinya langsung dari Mavi.
"Saat itu, pukul 6 pagi. Aku masih dalam perjalanan pulang dari kedai untuk membeli makanan. Sesampainya di rumah aku pun menyiapkannya untuk sarapan nenek. Nggak lama terdengar suara lirih dari kamar beliau. Tanpa pikir panjang, langsunglah aku cek ke kamarnya. Keadaan nenek saat itu sangat lemas, muntah-muntah, bahkan sempat sesak napas. Jelas aku kaget plus panik, tapi yang buat bingung tu, di meja dekat kasur ada sepiring nasi yang udah dimakan sedikit. Padahal saat itu aku baru hendak membuatkannya sarapan. Tiba-tiba beliau pingsan, segera kutelpon rumah sakit saking paniknya," jelasnya dengan gurat kesedihan yang tak dapat dibohongi.
"Kata dokter, nenek kemasukan racun sianida. Beruntung, dosis yang beliau telan dalam makanannya terbilang sedikit, dan bisa diselamatkan. Aku masih setengah syok kemarin," lanjutnya membuatku tertegun. "Setelah menunggu proses pemasukan selang ke tubuh nenek, aku pun menuju kantor polisi untuk melaporkan kejadian ini. Tapi..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Atela's Journal [FINISHED]
Fiksi Remajacover: pinterest, @linart112 Hidup bersama pasangan, bisa mengggenggam tangannya setiap hari, bukankah semua orang menginginkan ending seperti itu? Selalu menampakkan wajah ceria dengan senyun yang merekah di bibir saat menghabiskan waktu bersama. A...