DENGAN perasaan campur aduk aku menunggu sopir ojol di teras rumah. Sekarang Pak Yerun masih sibuk mengantar mama yang kelupaan membawa mobil di rumah sakit. Dan terpaksa aku harus menaiki ojol agar cepat sampai di tempat tujuan. Setelah menelepon polisi cukup lama akibat lokasi bangunan yang sulit ditemukan. Ternyata tempat tersebut berada di daerah terpencil dan berjarak sekitar 7 km dari perumahanku.
Kucepat merogoh saku untuk mengambil ponsel. Menekan logo telpon untuk memanggil Nema.
Tuuutt..
"Halo, La?"
"Halo, Ma! Aku-"
"HAI, ATELA! BAGAIMANA KABARMU?!!" Tiba-tiba terdengar teriakan Natu membuatku terlonjak kaget. "Ihh, gausah ikut-ikut napa sih?!"
"Emang kenapa? Atela 'kan teman kit-"
"Aduh, maaf ya, La. Tadi kamu hendak bilang apa?"
"Baguslah kalau kalian sedang bersama. Bisakah kalian membantuku?" tanyaku mendesak.
"Ada apa, La?"
Aku pun menyebutkan tempat dimana bangunan tadi berada. Lalu menyuruh mereka untuk menuju ke sana, menemaniku dalam mencari Helen. Beruntungnya, mereka spontan langsung menyetujuinya, tanpa harus bertanya hendak apa.
Tak lama mobil yang kutunggu akhirnya merapat di depan pagar. Tanpa pikir panjang aku pun langsung menutup pagar dan memasuki mobil. Selama perjalanan aku hanya bisa berdoa agar kondisi Helen belum separah seperti di pikiranku. Walau mungkin sudah dianiaya bahkan dirusak, tetap saja masih ada harapan terkait nyawa orang itu. 10 menit berlalu, mobil yang kutumpangi akhirnya sampai di depan sebuah jalan kecil. Setelah membayar ongkos aku pun bergegas turun, lalu melewati jalan sempit dengan suasana hening yang menemani.
Di sepanjang jalan hanya tampak satu dua rumah saja. Terlihat sangat tua dan tak terurus. Bahkan sepertinya hampir semua perabotnya rusak terbengkalai. Sontak dahiku berkerut ketika arah mataku tertuju ke dalam salah satu rumah. Terlihat seorang anak kecil dengan pakaian kusut tengah berdiri menatapku. Begitu pula dengan rumah di sisi lain, terdapat seorang lelaki dewasa dengan tubuh kumuh sedang menatap ke arahku pula. Tatapan yang begitu aneh, membuat bulu kudukku berdiri seketika. Mereka tak bergerak, hanya arah matanya yang mengikuti langkah kakiku. Aku pun segera mempercepat langkah agar cepat sampai di tujuan.
Akhirnya, hamparan rumput seluas lapangan basket sekolah terpampang jelas di depanku. Dengan bangunan tua setinggi 20 meter yang berada di tengah-tengahnya. Sepertinya gedung ini merupakan bekas suatu pabrik. Terlihat dari cerobong asap yang berada di sebelah kanan bangunan. Suasana di tempat ini begitu sepi, bahkan sudah seperti bangunan angker. Tak ada tanda-tanda keberadaan seseorang selain dua orang yang menjadi sang pelaku dan korban. Dengan teliti, aku pun mengedarkan mata ke sekeliling bangunan. Namun, bagaiamana caranya aku bisa menemukan mereka di tempat seluas ini?!
Tring! Tring! Kurasakan ponselku berdering di saku celana. Aku pun segera mengambilnya dan menggeser tombol hijau.
"Halo, Nak. Sepertinya saya mas-h d--l--m pj--l...nm..."
Aku mengerutkan dahi heran. "H-halo, Pak..."
"Hh--ngg... j--la--h. M-ung...n s--y-- s...lah."
"H-halo--tut tut.
Mendadak sambungan kami jadi terputus. Aku pun menurunkan ponsel dan melihat layar dengan wajah serupa. Ternyata jaringan di sini sangat jelek, membuatku harus lost contact dengan sang polisi. Padahal mereka merupakan hal terpenting dalam situasi yang genting macam ini.
Aku menghirup udara sedalam-dalamnya. Sepertinya yang harus menyelamatkan Helen di sini adalah aku sen--
"AAAAKKH!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Atela's Journal [FINISHED]
Teen Fictioncover: pinterest, @linart112 Hidup bersama pasangan, bisa mengggenggam tangannya setiap hari, bukankah semua orang menginginkan ending seperti itu? Selalu menampakkan wajah ceria dengan senyun yang merekah di bibir saat menghabiskan waktu bersama. A...