EPS. 25 | FLIGHT TO BATAM

93 29 5
                                    

BUS sekolah meberhentikan kendaraannya di sebuah restoran. Aku baru menyadari bahwa kami sudah sampai di Jakarta. Perjalanan dari Bandung menuju kesini hanya membutuhkan waktu 3 jam, tenyata lama juga tidurku. Restoran ini sudah di booking hanya untuk sekolah kami. Setelah mengambil piring masing-masing, aku dan Mavi mencari meja makan yang belum ditempati.

"Jangan sama Nema dan Natu, La. Lihat mereka berdua di sana, udah kayak orang pacaran saja. Kita ke meja lain, yuk," tutur Mavi seraya menunjuk ke arah barat dengan dagunya. Aku sedikit cemberut melihatnya. Bukannya tidak mendukung "kencan buta" mereka, hanya rasanya aku seperti dikucilkan. Terpaksa aku dan Mavi pun duduk berdua di lantai kedua, karena lantai pertama tadi sudah penuh.

"Jadwal selanjutnya apa, La?" tanya Mavi kemudian.

"Berangkat ke Batam."

"Emm, apa sebelumnya kamu pernah ke Singapura?"

Aku mengangguk sembari mengunyah makanan. "Aku bersekolah di sana saat masih SD. Di sana aku hanya tinggal bersama papa."

"Waaa, keren! Pasti enak banget tinggal di negeri orang."

Aku menggeleng tidak setuju. "Aku nggak suka tinggal di sana. Hidup seorang diri, hanya ada pembantu di rumah. Aku sering ditinggal Papa kerja, dia sibuk banget di sana. Tak ada teman di rumah, rumah teman-temanku pada berjauhan pula."

Mavi terkekeh pelan, lalu melanjutkan menyendok makanan. "Aku tak pernah merasakan naik pesawat. Gimana ya rasanya, La?"

Deg! Aku tertegun mendengarnya. Baru ingat bahwa Mavi adalah seorang anak yang lahir dari keluarga sederhana, dan malangnya tak ada seorang ibu atau ayah yang menemani. Sedangkan aku, punya keluarga yang amat lengkap serta kaya raya. Jangankan beli barang bermerk, pergi ke luar pulau saja cukup memilih hendak ke negara mana. Hanya satu yang terkadang menjadi hambatan saat hendak berlibur, kondisi Kak Sinq yang tidak memungkinkan untuk diajak jalan.

Selesai makan, kami pun kembali menuju bus. Setelah semua berada di kursi masing-masing, kami berangkat menuju bandara. Aku mengambil buku panduan untuk melihat jadwal. Di sini tertulis, sesampainya di Batam kami akan menuju ke pantai untuk menikmati sunset. Aku menoleh pada Mavi yang sedang asyik bermain ponsel.

"Mavi, apa kamu suka sunset?"

"Nggak, sukanya sunrise."

"Kenapa?"

"Saat sunset mendadak perasaanku menjadi lebih emosional. Sedikit ada rasa sedih atau galau yang mendalam. Aku tak suka terjebak di suasana seperti itu, menjengkelkan!" gerutunya di akhir kalimat. "Maka dari itu aku lebih menyukai sunrise. Menikmati langit dengan perpaduan warna biru dan oranye, rasanya lebih adem," jelasnya membuatku sedikit melongo. Aku tak mengira bahwa ada juga rasa seperti itu. Yang kutahu hanya perasaan senang dan senang saat melihat sunrise maupun sunset.

"Omong-omong, apa perjalanan tadi menyenangkan?"

"Nggak sama sekali. Kamu tahu, selama 3 jam lenganku pegal gara-gara kamu," ucap Mavi seraya mendengus geli.

"Eh, maaf soal tadi. Aku 'kan lagi tidur, makanya nggak tahu," balasku menyeringai, membuatnya tertawa kecil.

"Kenapa tidak langsung menuju Singapura dengan pesawat saja ya? Harus banget pakai bus dan kapal segala, bukankah lebih boros uang?"

Aku sedikit terkejut mendengarnya. Wah, dia belum tahu saja. SMA Eglantine memang suka menghamburkan uang kalau soal beginian.

Tentu aku tak mengucapkannya langsung karena takut menyinggung Mavi. Melihat latar belakangnya yang sangat mengharukan seperti itu.

Bus masih terus berjalan menuju bandara hingga pukul 12 siang. Akhirnya kami sampai di sana 2 jam sebelum penerbangan.

"La, aku nggak tahu urutannya..." ucap Mavi pelan saat sudah sampai di dalam bandara. Sepertinya ia sedikit malu mengatakan itu. Padahal wajar saja kalau ia tidak tahu. Aku terkekeh pelan melihatnya, wajah Mavi sangat menggemaskan bila malu-malu begini.

Atela's Journal [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang