SUARA sirine ambulan yang tengah merapat di depan pintu, membuat para penghuni rumah sakit menoleh. Dengan cepat sang suster membatu untuk mengeluarkan ranjang pasien.
***
Aku tak menyadari, bahwa perlakuan yang kutunjukkan padanya sangatlah buruk. Namun kupikir, setidaknya hanya berjalan satu minggu terakhir.
***
Kondisi pasien yang terbaring di ranjang amatlah kacau. Meski perut tertusuknya sudah dibalut perban, namun darah tetap mengalir keluar hingga membasahi kainnya. Sang suster yang berlari tergopoh pun kewalahan akibat tangannya juga harus menahan perut si korban.
***
Bahkan ketulusan dan kelembutan yang diberikannya, hilang dalam sekejap hanya karena satu alasan. Alasan yang kuasumsikan sendiri dari sebuah penulusuran di media sosial. Tanpa pembicaraan langsung mengenai kebenarannya dengan anak itu.
***
Suara seruan panik dan langkah tergesa suster yang menggema di lobi membuat orang di sekitarnya langsung memberikan jalan. Agar ranjang pasien itu bisa cepat sampai pada ruang operasi. Dengan cekatan sang dokter pun menangani perut pasien yang kini kondisinya sudah tak karuan.
Tit... tit... tit... terdengar bunyi detak jantung pasien dari alat monitor. Menemani setiap tetes keringat mereka dalam memperjuangkan nyawa seseorang.
***
Aku masih tak menyangka, pertemuan kita akan sesingkat ini. Bahkan aku belum sempat meminta maaf padamu atas perlakuan burukku selama ini. Namun di sisi lain, aku sangat bersyukur bahwa Tuhan mempertemukan kita di waktu yang tepat. Berkat Dia, aku bisa mengenal lebih dalam tujuan hidupku yang sebenarnya melalui dirimu.
Dan kamu, satu-satunya seorang teman yang bisa menyelinap masuk ke dalam hati mungilku. Haha.
***
TIIIITTTTT...
Tak lama, terdengar suara detak jantung berhenti dari alat monitor. Suaranya yang menggema ditengah-tengah kesunyian membuat semua orang yang berada di dalam ruangan membeku. Suasana yang semula amat tegang, kini berangsur hening penuh duka. Kali ini, mereka gagal dalam menyelamatkan nyawa seorang pasien.
***
Ya, hanya kau orangnya, Mavi. Terima kasih atas segalanya.
***
4 bulan berlalu.
Pagi ini matahari bersinar lembut. Burung-burung yang terbang di sekitar berkicau merdu membuatku menarik bibir. Sesekali terdapat sepoi angin yang mengenai rambutku. Suasana di bawah pohon ini sangatlah rindang dan sejuk. Bersantai menikmati pemandangan dari atas bukit, setidaknya pijakan tanah di sini lebih tinggi dari yang lain.
Aku kembali menghirup udara kesekian kali, lalu menghembuskannya perlahan lewat mulut. Aku tak mengira waktu akan berjalan secepat ini. Sejak kejadian mengerikan di dalam sebuah pabrik, yang merengut nyawa seseorang.
Aku terkekeh dalam hati.
Sebulan lamanya setelah kejadian itu, aku terbangun dari koma. Menjerit ketakutan, memanggil siapapun yang berada di luar kamar untuk masuk.
***
"AKU MOHON SIAPAPUN..."
"KEMARILAH!"
Brakk! Dengan cepat pintu kamar terbuka dan munculah seorang dokter dan suster. Tak lama seseorang pun ikut masuk dengan wajah panik dan tergesa.
"M-mama..."
"Atela!" seru mama langsung berlari memelukku. Pelukan penuh haru dan rindu, hingga menetes air matanya. "Atela anakku..." panggilnya lagi dengan lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atela's Journal [FINISHED]
Ficção Adolescentecover: pinterest, @linart112 Hidup bersama pasangan, bisa mengggenggam tangannya setiap hari, bukankah semua orang menginginkan ending seperti itu? Selalu menampakkan wajah ceria dengan senyun yang merekah di bibir saat menghabiskan waktu bersama. A...