"KABAR gembira, untuk kita semua...! Kulit jeruk, kini ada ekstraknya..."
Aku menatap datar mama yang sedang bersenandung ria sembari mengupas kulit jeruk. Tak kusangka semalam disaat kondisi perasaanku tengah takut dan risau akibat Helen, mama datang tiba-tiba dengan sapaan mengerikan dari luar. Yang lebih menyebalkan adalah ketika awal pembukaan ia harus sekali menghilang dari depan pintu, membuat adegan itu menjadi lebih menyeramkan. Tak lama munculah wajah bermake up tebal dengan seringaian ngeri yang jelas membuatku kaget bukan main. Bonus juga pingsan 5 menit.
"Kok mukanya cemberut mulu si, ntar cantiknya hilang loh," celetuk mama membuat wajahku kian mendatar. "Ahh, pasti gara-gara semalam itu ya. Sebenarnya Mama waktu lagi buka pintu tiba-tiba lihat sesuatu yang aneh dari lift. Ternyata cuma halusinasi doang, yaudah deh balik lagi ke pintu langsung nyapa anak kesayangan."
"Iya iya, Mama nggak salah," balasku masih sedikit sebal.
Mama pun tertawa seraya mendekatiku. "Makan dulu gih. Biar senyumnya balik lagi," ucapnya terkekeh lalu menyodorkanku sepiring nasi dengan ayam. Aku pun segera melahapnya rakus akibat kelaparan sejak dini hari tadi.
"Pelan-pelan makannya, Sayang."
Namun kutetap meraup makanan itu dengan mulut terbuka lebar. Semalam setelah 10 menit kubangun dari pingsan, mama mengajakku pulang karena besok harus kembali ke sekolah. Sebenarnya aku terlalu takut untuk tidur sendirian di kamar. Namun gengsiku terlalu kuat untuk meminta mama tidur bersama. Terpaksa aku pun harus memejamkan mata dalam keadaan lampu menyala. Dan berakhir mengenaskan seperti gelandangan.
Lihatlah aku sekarang, dengan kantung mata hitam nan besar, kumenatap datar pemandangan depan kelas.
"Iuh... lu nggak mandi apa, La?" celetuk Natu yang tengah mengupil di sampingku. Namun kutak bereaksi apapun tetap menatap kosong papan tulis di depan.
"ATELA...!" Dengan teriakan khas, kubisa mengenali siapa yang akan datang untuk mengguncang tubuhku. "ATELA...!" seru Nema lagi lalu berlari menghampiriku dari belakang. "ATEL-euww... apa kau benar Atela?" tanya Nema seraya mengernyitkan wajahnya, menatap jijik kondisiku.
Sontak aku pun memutar bola mata malas. Lalu menggeletakkan kepala di meja.
Di detik selanjutnya Nema kembali berteriak panik tentang perasaanku semalam. "Apa kamu baik-baik saja, La? Aku meneleponmu berkali-kali kenapa tak kamu angkat? Apa semalam kau kembali dihantui oleh arwah Helen? HAHHHH... jangan-jangan, dia sudah memasuki tubuhmu ini..?!" serunya langsung menjambbak rambutku membuatku terlonjak dengan pelototan mata.
"Arwah Helen yang mulia, kumohon kembalikan tubuh sahabatku...!"
"AAAAAKK NEMA...! INI AKU LAA! ATELA DOHAIN!"
Dalam sekejap, Nema pun melepas jambakannya lalu menatapku serius. "Aku belum percaya kalau kamu belum menjawab satu per satu pertanyaanku," ucapnya lalu mengambil penggaris dari ransel, memukul-mukulnya pada telapak tangan layaknya seorang guru.
Aku mengernyitkan dahi menatap Nema. "Tapi, Nema, aku-"
"Shhuuttt! Jangan banyak bicara yang nggak penting. Natu, bantu aku mengurusnya," pintanya membuat Natu langsung berdiri tegap.
"Siap, Bos!" serunya seraya hormat pada Nema, lalu menuju ke belakangku dan langsung menyekap kasar kedua tanganku. Sungguh momen ini lebih mirip seperti siksa kubur dibanding menjawab kuis yang tidak jelas dari Nema.
"Lepasin nggak, Nat!" seruku pelan namun penuh tekanan.
"Maafkan aku, La. Aku tak bisa menolak perintah kekasihku sekarang. Memang sepertinya dialah yang kerasukan reog ponorogo, bukan kamu," balas Natu berbisik padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atela's Journal [FINISHED]
Teen Fictioncover: pinterest, @linart112 Hidup bersama pasangan, bisa mengggenggam tangannya setiap hari, bukankah semua orang menginginkan ending seperti itu? Selalu menampakkan wajah ceria dengan senyun yang merekah di bibir saat menghabiskan waktu bersama. A...