EPS. 41 | KEMBALI BERGUNCANG

31 2 0
                                    

PUKUL 9 di kantin sekolah.

"Emm La... maukah kamu kembali memberiku kesempatan? Aku berjanji akan menjalankannya dengan baik," ucap Mavi dengan wajah memohon, membuatku sedikit bingung. Barusan tadi ia menjelaskan tentang depresi Imal yang telah menghilang, membuatnya tak dibutuhkan lagi dalam hidup anak itu. Dan kini ia melemparkan pertanyaan yang membuat keningku berkerut.

"Berikan aku kesempatan lagi, La... untuk menjaga dan membuatmu nyaman berada di dekatku. Membuatmu kembali tertawa dan tersenyum karenaku. Walaupun membutuhkan waktu yang lama, namun aku akan tetap berusaha yang terbaik," jelas Mavi layaknya seorang penyair. Ia menatap manik mataku lebih dalam, membuat jantungku jelas sudah tak berdaya. Aku menelan ludah kuat-kuat. Tak kusuangka tujuan ia mengajakku ke sini adalah untuk menyampaikan kata-kata itu.

"Kenapa... kamu membicarakan hal itu?"

Mavi menaikkan alis, tampak tak percaya. "Bukankah selama ini... kamu sudah berusaha untuk melupakanku?"

"...me-melupakan?" Tanyaku balik sedikit melongo. Detik itu pun Mavi melempar senyum padaku lalu tertawa kecil.

"Oh, jadi ceritanya gagal move on nih?"

Sontak wajahku memanas bagaikan api membara. Bisa-bisanya ia berkata seperti itu. Apa terlihat jelas sekali dari wajah bila aku ini gagal move on...?

Mavi menghela napas sejenak, lalu kembali menatapku. "Sudah melupakan ataupun belum, aku tetap ingin mengulang hari-hari bersamamu kembali, La. Aku tetap ingin berada di sisimu, jalan dan bermain bersama, atau makan di resto yang mewah sesekali. Jadi... berikan aku kesempatan lagi untuk melakukannya, hanya untukmu." Ia menatapku penuh ketulusan. Entahlah, kata-katanya begitu mendalam membuatku sedikit merasa bersalah bila tidak mengijinkannya.

Namun sedetik kemudian wajahku mendatar ketika suatu memori terlintas begitu saja di otak. "Nggak, nggak bisa," jawabku singkat.

Seketika wajah Mavi berubah menjadi sedih seutuhnya. Terlihat jelas sekali bahwa ia merasa kecewa dengan perkataanku barusan. Aku kembali menelan ludah, kembali iba dengan perasaannya yang mungkin sudah kacau. Ah, kenapa cepat sekali perasaanku berubah ketika melihat wajah sedihnya?

"Kenapa, La...?"

"K-karena..." sial! Kenapa mendadak jadi gugup begini? "A-anu..."

Terdengar helaan napas dari Mavi. Kali ini ia tak lagi menatapku, melainkan para murid yang tengah lalu lalang di luar kantin. "Kamu tahu, La? Saat aku mengetahui bahwa rasa depresi Imal sudah hilang sepenuhnya, lalu ia tak lagi mempermasalahkan kehadiranku di sampingnya, perasaanku menjadi sangat lega. Aku bisa bernapas dengan leluasa tanpa ada rasa gelisah yang menghantui. Di saat itu juga, aku berniat hendak menemuimu untuk memberitahu kabar gembira ini.

"Namun aku sempat berpikir tentang perasaanmu. Kamu pernah bilang bahwa hendak melupakanku dalam waktu yang tidak dapat ditentukan, bukan? Dengan kata lain kamu akan seutuhnya menghilang dariku. Tentu saja aku sangat sedih, La. Tapi bagaimana pun juga, itu adalah keputusanmu. Dan sebagai teman terbaikmu, aku harus menerima dan mendukungmu. Selain itu aku juga memiliki keputusan sendiri, selalu berada di sisi Imal karena ia sangat membutuhkanku. Tak mungkin aku akan mempertahankan dua perempuan dalam kurun waktu yang tak terhingga, 'kan?" Ia menghela napas sejenak. Kali ini aku benar-benar bungkam mendengarnya.

"Karena itu, La... aku harus berpikir dua kali cara agar bisa membuatmu kembali bersamaku. Aku tahu mungkin ini akan membuatmu merasa kupermainkan. Namun aku sungguh tak ada niatan untuk melakukannya. Aku hanya ingin bersamamu, seperti dulu kala saat masih menjadi teman baru," jelasnya sangat mengena. Kusungguh terharu campur senang mendengarnya. Bahkan rasa gugup dan jantungan tadi sudah tak lagi hadir mengganggu, akibat rasa bahagia yang tak bisa diungkapkan memenuhi lubuk hati terdalam.

Atela's Journal [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang