EPS. 53 | TERIMA KASIH, TUHAN

13 2 0
                                    

KERETA api yang kutumpangi masih melaju kencang menuju Bandung. Memakan waktu hingga 3 jam lebih untuk sampai ke kota tujuan. Hingga kini, hujan deras masih saja tak henti-hentinya menghantam bumi. Tak seperti penumpang lain yang asyik menikmati, aku justru berdiam diri akibat pikiranku yang kacau. Bahkan perasaan mencekamku pun sulit dikendalikan.

Saat mendengar panggilan bahwa kereta hendak berhenti, aku segera beranjak lari menuju gerbong pintu. Tak menghiraukan orang di sekitar yang memerhatikanku dengan tatapan aneh. Di detik setelah pintu terbuka bersamaan dengan bunyi "ting", aku melangkahkan kaki lebar melewatinya. Kembali berlari di sepanjang stasiun dengan tergesa, tak mempedulikan kerumunan yang lagi-lagi menatapku aneh.

Keadaan di sini tak hujan seperti di Jakarta, namun masih sedikit mendung dengan awan hitam yang hampir menutupi langit. Dengan cepat kubergegas keluar dari stasiun, menuju suatu tempat dimana aku bisa meluapkan semua rasa sesak di dada. Jarak tempat itu tak terlalu jauh karena dekat dengan perumahanku. Hanya butuh waktu 3 menit kuberlari, akhirnya aku sampai di tempat tujuan.

Kuburan milik Mavi.

Batu nisan berawarna abu, bunga yang bertaburan di atas tanah, sudah lama aku tak melihat pemandangan ini. 3 bulan lalu, selama sebulan penuh setelah bangun dari koma, aku sangat rajin mendatangi tempat ini. Hanya untuk melepas rindu dengan sedikit bercerita. Apapun yang kualami, akan langsung kulaporkan pada Mavi di hari yang sama. Terkadang aku pun mendoakan keberadaannya.

Aku tersenyum menatap gundukan tanah itu. Senyum getar penuh dengan kerinduan.

"Hai, Mavi... Sudah lama, aku tak berkunjung. Tak terasa hampir 4 bulan lamanya waktu terus berjalan." Aku diam sejenak, sembari mengatur napas tersengal dengan senyum yang masih mengembang di bibir.

"Selama di Jakarta aku baik-baik saja. Temanku banyak, namun hanya ada beberapa yang dekat saja seperti dulu. Ada kau, Nema, dan Natu. Kau tahu, terkadang dulu aku suka berbincang pada Guto mengenai tugas kelompok. Hanya dia yang bisa diandalkan ketika aku ingin membantu, hehe. Layaknya kalian, mereka semua seru. Aku suka berbincang dengannya, bersenda gurau, bahkan rasanya sudah seperti teman dekat walau hanya beberapa bulan berkenalan."

Aku tersenyum sembari melihat sepatu, kembali menatap permukaan tanah dengan kekehan kecil. "Bagaimana denganmu? Pasti kau amat bahagia di sana. Bertemu satu-satunya orang yang paling kau sayang selama sisa hidupmu. Hingga wanita terkuat nan luar biasa yang mencintaimu melebihi apapun. Aku tahu seperti apa ekspresi yang kau tunjukkan di sana. Dengan senyum yang merekah di bibir, sangat sempurna bahkan membuat kedua bola matamu menyipit, kamu tertawa penuh kebahagiaan bersama mereka. Aku memang tak bisa melihatnya dengan mata telanjang. Namun aku merasakannya, Mavi. Aku merasakannya..."

Tanpa kusadari, satu air mata lolos begitu saja melewati pipi.

"Aku ikut senang, Mavi. Kebahagiaan dan suara tawamu... terdengar sangat jelas dari sana. Aku bisa mendengarnya lewat lubuk hatiku. Lubuk hati paling dalam..."

Sontak bibirku bergetar hebat setelah mengucapkannya. Rasa sesak di dada kini kian membuncah akibat air mata yang sudah tak dapat dibendung. Dengan kondisi tangis yang makin tersedu, aku menutup mulut rapat-rapat. Tubuh yang semula membungkuk kini terjatuh akibat kedua kakiku yang sudah tak bisa menopangnya dengan sempurna.

Kebahagiaan yang muncul dari hati paling dalam.

Bukan... bukan itu yang kurasakan. Sesungguhnya kalimat itu hanyalah dusta semata. Hal yang paling kubenci di dunia ini. Berusaha terlihat baik namun kenyataannya sangat jauh dari kata itu. Perasaan yang hancur seperti dihunjam aliran listrik, membuat detak jantungku semakin melemah. Rasa sakit di dada pun kini kian merambah.

CTAR! Tiba-tiba terdengar suara petir yang menyambar di area kuburan. Walau suaranya begitu kencang aku tak mempedulikannya. Tak lama rintik hujan jatuh mengenai kepalaku. Tetes demi tetes air turun menghampiri kesunyian. Hingga hujan datang membasahi seluruh permukaan bumi. Namun hal itu tak sedikitpun membuatku bergerak dari tempat kududuk. Keadaanku yang sudah hancur membuatku enggan meninggalkan tempat peristirahatan ini.

Atela's Journal [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang