PEMANDANGAN langit malam yang amat menakjubkan. Banyak bintang gemintang yang bertebaran di sana. Terdapat bulan purnama pula yang menambah keindahan langit di atasku. Kini aku sedang menikmati sepoi angin di atas geladak kapal. Sudah dari setengah jam yang lalu kami semua naik ke atas kapal feri.
Sejak kejadian tenggelamnya tubuh Imal, Mavi menghilang entah kemana. Pihak sekolah membawa mereka bedua pergi. Mungkin saja disuruh mandi lalu berganti pakaian. Bahkan saat makan malam saja mereka masih dalam pengawasan kepala sekolah. Aku tak tahu mengapa pihak sekolah terlalu mengkhawatirkan kondisi Imal. Lalu kenapa pula bawa-bawa Mavi? Padahal setelah Imal sadar tak ada hubungannya lagi dengan Mavi kan?
"Mau, La?" tawar seseorang tiba-tiba muncul di sampingku. Aku menoleh lalu mengambil cemilan yang diberikan Nema dan membukanya.
"Natu mana?" tanyaku.
"Lagi berak. Salah sendiri sudah menghabiskan sambel semangkuk. Nggak bagi-bagi lagi," kesalnya diakhir kalimat. Namun aku tak membalas apa-apa, kembali memandangi pulau Batam kini keberadannya makin menjauh.
"Sudahlah, tidak perlu dipikirkan lagi. Mavi bakal datang cepat, kok. Jangan risau," ucap Nema seraya mengelus punggungku lembut.
"Menurutmu mereka ngapain ya? Kok sampai sekarang masih dikurung sama kepala sekolah?" tanyaku tanpa menoleh.
"Aku nggak tahu, La," jawab Nema seraya melingkarkan kedua tangannya di pingganggku. Dengan kepalanya yang menyelinap di antara telinga dan pundakku.
"Ih apaan sih, Ma? Lepasin woi," seruku berusaha melepas tangannya.
"Hangat, La," balasnya pelan dengan pelukannya yang makin erat. Gerakan tanganku seketika terhenti. Memang sangat hangat bila dipeluk seperti ini. Perlahan aku pun balik memeluk bahu Nema.
"DOR!" seru seseorang membuat kami terlonjak kaget. Sialnya cemilanku jatuh meluncur langsung menuju air laut.
"NATUU!" bentakku galak dengan pendelikan yang justru dibalas tawa olehnya.
"Lagian juga ngapain pelukan? Jijiq bangets ew!" celetuknya dengan mata yang menyalang ke atas, dan bibirnya yang terbuka lebar.
"Yee, dari pada pelukan ama lu, najis!" balas Nema pedas.
"Bilang aja mau," timpal Natu tersenyum memperlihatkan deretan gigi.
"Euwwh!" seru Nema yang membuat Natu membalas perkataannya lagi. Sudah kuduga, mereka akan bertengkar kembali. Lihatlah, kini mereka sudah layaknya tom and jerry.
Karena terganggu, aku pun berjalan meninggalkannya, namun tak ada respon seperti "hei, hendak kemana?" dari mereka. Mungkin Nema peka dengan keadaanku yang tak ingin diganggu. Aku berjalan menuju ruang tunggu untuk duduk santai. Di sana banyak murid yang tengah tertidur, tak sedikit pula yang masih terjaga.
Saat hendak menuju sofa kosong di ujung selatan, langkahku tiba-tiba terhenti karena tak sengaja melihat sesuatu di dalam sebuah ruangan. Aku mengintip dari balik pintu untuk melihat suatu kejanggalan yang ada. Sontak mataku melotot lebar saat mengetahuinya. Sesosok lelaki bertubuh tinggi dengan perempuan centil layaknya benalu yang sedang duduk bersama di salah satu sofa. Dan hanya mereka yang berada di ruangan ini. Setahuku ini adalah ruang tunggu khusuh untuk para guru dan kepala sekolah. Namun kemana mereka semua?
Aku memerhatikan lamat dua orang itu dan ternyata benar saja pikiranku. Mavi dan Imal sedang duduk berdua sembari mengobrol tentang sesuatu. Sesekali mereka tertawa kecil membuatku tambah muak. Aku mendekatkan telinga di ujung pintu agar bisa mendengar percakapan mereka.
"...kemarin saja aku makan samyang 4 bungkus langsung. Menjadikan berat badanku mendadak nambah 2 kilo. Mana lagi malas olahraga, udah deh numpuk tuh lemak di sini," ucap Imal setengah kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atela's Journal [FINISHED]
Fiksi Remajacover: pinterest, @linart112 Hidup bersama pasangan, bisa mengggenggam tangannya setiap hari, bukankah semua orang menginginkan ending seperti itu? Selalu menampakkan wajah ceria dengan senyun yang merekah di bibir saat menghabiskan waktu bersama. A...