EPS. 27 | SISI PAHIT IMAL

99 28 0
                                    

SUARA grusak-grusuk di dekat ranjang mengganggu tidurku. Aku menggeliat sebentar lalu menarik diri dari ranjang. Melihat sekeliling yang sudah sunyi. Kini jam dinding menunjukkan angka 12. Nema dan teman-teman yang lain sudah tertidur di sebelahku. Kukira mereka akan maraton drakor hingga dini hari. Udara di sini sangat dingin macam kutub utara. Aku pun bergegas mengambil jaket dari koper dan memakainya. Lalu berjalan menuju meja untuk membuat teh dengan pemanas air.

Selesai menyeduhnya, aku kembali duduk untuk bersantai. Namun sedetik kemudian tiba-tiba ponselku menyala menampilkan layar telepon. Tak ada suara, hanya getaran yang dihasilkannya. Aku beranjak dari atas ranjang dengan kesal. Siapa pula yang meneleponku tengah malam begini?

Tertera nama Mavi di sana yang jelas membuat rasa terkejutku meningkat drastis. Aku tidak ingin menekan tombol hijau dan memutuksan akan menunggunya. Setelah layarnya berganti, muncul notifikasi panggilan tak terjawab sebanyak 3 kali. Aku mengetuk notif itu dan otomatis aplikasi WA-ku terbuka. Sungguh diluar dugaan Mavi akan meneleponku sebanyak ini. Bahkan diwaktu yang berbeda pula, mulai pukul 22.55, 23.00, lalu 23.45, dan terakhir pukul 00.07 sekarang.

Aku tidak tahu hendak melakukan apa sekarang. Bila bertanya pada Mavi, pesan-pesan yang kuabaikan tadi otomatis akan terbaca. Sedangkan menelepon balik, ah, masa cewek yang harus meneleponnya dulu? Karena bimbang aku pun meletakkan ponsel di tempat semula. Memilih untuk bersantai dari pada memikirkan Mavi yang jelas akan membuatku teringat kembali akan cerita Liyun.

Aku kembali duduk di tepi ranjang untuk menikmati teh. Rasanya lebih nikmat dari teh yang dibuat mama. Mungkin dia tak memakai bumbu cinta saat membuatnya, jadi rasanya sedikit hambar. Tak lama terdengar ketukan pintu membuatku berseru kesal. Namun sedetik kemudian rasa takut mendadak menyerang diriku. Siapa pula yang hendak berkunjung tengah malam begini? Semua orang tengah tertidur sekarang.

Pintu kembali diketuk membuatku bergidik. Arah mataku seketika tertuju pada sebuah botol minum besar yang ada di atas meja. Ide cemerlang pun langsung terlintas di otak. Dengan langkah perlahan aku berjalan menuju pintu. Lalu menghirup napas dalam-dalan sebelum melihat secara langsung penganggu itu. Tunggu... tapi bagaimana bila bukan orang dan justru penampakan yang muncul? Refleks aku melangkah mundur dengan tatapan melotot ke arah pintu. Kali keempat suara ketukan itu terdengar kembali.

Kelima, keenam, ah berisik banget sih! Seruku dalam hati. Tiba-tiba Nema yang masih tertidur menggeliatkan tubuh, tampak seperti terganggu. Dari pada membangunkan mereka, terpaksa aku harus membuka pintunya. Setelah membuka kunci, aku menarik ganggang pintu dengan pelan. Muncullah lelaki bertubuh tiang listrik dengan hoodie kesayangannya.

Senyum yang ia tunjukkan sedikit bergetar saat menatapku. "Syukurlah, kamu membukanya."

"M-mavi?" tanyaku tak percaya.

"Iya, ini aku, La," ucapnya seraya menurunkan penutup hoodie di kepala. "Bisakah kita bicara sebentar?" ajaknya dengan tatapan memohon.

"E-eh, t-tentu boleh. Mau bicara apa?"

"Jangan disini. Kita pergi ke suatu tempat saja. Aku jamin tak ada yang melihat."

***

Sunyi. Hanya ada satu kata yang mendeskripsikan kondisi kami saat ini. Di bawah langit malam yang mencekam, aku dan Mavi duduk di kursi dekat kolam renang. Kata Mavi, tak mungkin ada orang lewat di sini terlebih para guru bahkan kepala sekolah. Aku berdehem memulai percakapan yang sedari tadi tak dimulai-mulai. Entah kenapa suasananya mendadak jadi canggung begini.

"Tadi... mau bicara apa?"

"Maaf, La. Maafkan aku nggak bisa memenuhi permintaanmu waktu itu," ucapnya pelan. Aku mengernyitkan dahi mendengarnya.

Atela's Journal [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang