EPS. 33 | TERUS TERANG

49 6 5
                                    

HELEN. Nama yang tertera di notifikasi pesan masuk. Aku pun segera membalas pesannya. Kini aku tengah menikmati kopi panas di rooftop rumah. Dengan udara dingin yang menerpa wajah dan rambut, aku duduk di bangku sembari menikmati rembulan malam yang cantik.

Helen:
Hai, La. Gimana hari pertama liburan?

Atela:
Yah, seperti biasa.

Helen:
Oh ya, bagaimana hasil rapormu kemarin? Nilai-nilaiku kali ini pada turun. Mungkin karena kelelahan dalam karierku. <emot sedih>

Atela:
Rapor semester 1-ku naik, Helen. Walau hanya beberapa mata pelajaran saja.

Helen:
Wihh, hebat banget. By the way, sepertinya aku akan sering memberimu pesan saat liburan ini. Mungkin karena aku banyak menganggur selain menjadi model. <emot tertawa>

Atela:
Kapan-kapan main ke rumah saja. <emot tertawa>

Helen:
Asyik! Pasti mau ditraktir makan banyak, nih.

Aku tertawa membacanya. Baru ingat bahwa Helen adalah seorang model busana dan aku belum pernah melihat fotonya di internet. Aku pun segera menulusuri hasil jepretan karier Helen itu. Seketika terbelalak saat banyak foto yang langsung muncul dalam sekali pencet.

Ya Tuhan, kenapa cakep bener ciptaan-Mu yang satu ini? Aku menutup mulut terharu. Tak kusangka ada manusia secantik ini selain Aish. Ah ya, anak itu. Sejak pertemuan pertama kala itu, kami hanya berjumpa sekali dalam seminggu untuk melanjutkan belajar mendesain. Namun entah bagaimana kelanjutan pertemuan kami di masa liburan ini.

Tak lama muncul notifikasi pesan dari Helen lagi.

Helen:
La, apakah teman virtual itu boleh saling menelepon?

Aku mengernyitkan dahi membacanya.

Atela:
Aku tak tahu, Helen. Belum pernah punya teman virtual sebelumnya, hehe. Apa kamu hendak meneleponku?

Helen:
Mungkin besok, atau entahlah kapan. Aku hanya ingin meminta izin padamu agar mengangkat telepon nanti sewaktu-waktu aku memanggil.

Aku tertawa membacanya. Bukankah memang diperbolehkan teman virtual saling tegur sapa lewat telpon? Tak perlu izin pun sepertinya akan langsung kuangkat bila Helen menelepon.

Tiba-tiba notifikasi pesan WhatsApp muncul dengan nama pengirim "Mavi". Seketika senyumku pudar saat membaca nama yang tertera.

Mavi:
La, aku tahu kamu pasti marah denganku karena tak datang sore tadi. Aku tahu kamu sudah lama menunggu namun keberadaanku tak kunjung hadir di sana. Maafkan aku, La. Aku benar-benar minta maaf karena sudah mengingkari janji. Tapi mohon jangan salah paham dulu. Semua itu aku lakukan karena ada hal yang harus kuurus secara mendadak. Bisakah kita bertemu sebentar? Aku akan menceritakanmu semua kejadian yang kualami hari ini.

Mavi:
Aku mohon sebentar saja.

Aku menghela napas pendek. Aku yakin kini wajah Mavi berubah menjadi sedih dengan tatapan memelas. Sejujurnya aku tak marah dengannya. Hanya sedikit kesal dan kecewa. Namun sungguh aku sedang tak ingin melihat wajah Mavi sekarang. Walau hanya sedikit rasa kecewa yang muncul, tetap saja memaafkan butuh waktu yang tak sebentar. Mengingat betapa lamanya aku menunggu kehadiran Mavi, namun yang datang justru sebuah kekecewaan di ujung waktu.

Atela:
Maaf, Mavi. Aku sangat lelah malam ini. Besok saja kita bertemu.

Dengan cepat, logo jam di ujung pesan yang barusan kukirim langsung berubah menjadi centang biru.

Atela's Journal [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang