TRING! Tring! Tring! Terdengar dering ponsel tanda telepon masuk. Aku pun segera mengangkatnya.
"Aku sudah sampai di depan, La!" seru Nema tepat setelah kugeser tanda hijau di layar. Bahkan belum sempat aku menyapanya, ia sudah berseru duluan. Dengan cepat kuolesi make up pada wajah, dan segera menuju ke bawah untuk berpamitan pada mama. Pukul 9 ini, aku akan berangkat menuju sebuah tempat wisata bersama Nema dan Natu. Entah apa alasannya, mungkin karena sudah lama aku tak mengajak mereka jalan bersama.
Saat membuka pagar, arah mataku langsung tertuju pada sebuah benda besar dan kinclong yang tengah terparkir di depan rumah.
"Cantik bener kalo pake make up," puji Nema yang tak kuhiraukan.
"Kita tidak diantar Natu lagi, 'kan?" tanyaku masih dengan mata yang menatap ke arah mobil di dekat kami.
"Natu?" Nema menolehkan kepala melihat mobil itu. "Kata siapa itu mobil Natu?"
"Eh, t-terus..."
"Itu mobil sopirnya Natu. Dia yang akan mengantarkan kita," jawab Nema membuat perasaanku menjadi lega seutuhnya. "Yuk, berangkat," lanjutnya seraya menggandeng tanganku. Kami pun masuk ke dalam mobil dan mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi.
Hanya butuh waktu 10 menit untuk sampai. Tujuan kami kali ini adalah tempat wisata yang penuh dengan gubuk bambu. Dengan pemandangan yang amat indah dan menakjubkan, tempat ini menjadi salah satu wisata favorit di Bandung. Aku memilihnya karena ingin menikmati pemandangan luar yang sejuk, tanpa adanya keramaian yang mengganggu. Kami pun memesan 1 pondok yang berada di dekat kolam renang.
"Apa kamu ingin berenang, Nat?" tanya Nema pada Natu.
"Aku nggak bawa baju ganti," jawab Natu tampak sedih.
Aku kembali menatap pemandangan di depanku, lalu menghirup udara dalam-dalam. Seperti namanya, pondok yang tak terlalu luas ini memang dibuat dari bambu. Dengan desain yang sedemikian rupa, tempat ini sangat nyaman menurutku. Pemandangan Kota Bandung pun bisa dilihat dari atas sini. Sepertinya sudah lama aku tak keluar rumah untuk mengunjungi tempat wisata yang sepi begini.
"La, makan bentar yuk. Aku laper banget," ajak Nema seraya menepuk-nepuk perutnya.
"Atela lagi mager, Ma. Mending kita berdua saja yang ke kafe," ajak Natu langsung beranjak mendekati Nema.
"Idih, modus lu," celetuk Nema dengan wajah datar.
"Iya, kalian saja yang ke sana. Nanti balik lagi untuk mengantarkan makanan untukku," ucapku seraya menyenderkan tubuh di bantal.
"Bisa begitukah?" tanya Nema bingung. Aku pun mengangguk mengiyakan. Padahal sebenarnya aku juga tak tahu karena baru pertama kali ke sini. Namun karena terlalu malas untuk berjalan, lebih baik mereka berdua saja yang mengantar. Atau mungkin ada pelayanan sendiri yang bisa digunakan untuk mengantar makanan ke sini.
"Baiklah, nanti kubawakan makanan paling enak di sini. Tunggu yaa!" seru Nema segera beranjak dari ranjang. Diikuti Natu yang langsung menggandeng lengan Nema. Namun nasib, Nema justru menggebuk lengan Natu seraya berseru, "Gausah pegang-pegang, ih!"
Aku pun tertawa melihat tingkah mereka. Entah kenapa, akhir-akhir ini Nema sangat sensitif bila Natu menyentuhnya. Sekarang sudah pukul 10. Walau begitu, udara di sini masih terasa sejuk. Angin yang bertiup kencang dari arah barat sedikit menghantamku. Membuat pakaian dan rambutku sedikit berkibar.
"Kenapa aku pergi kesini?" gumamku masih terheran. Bahkan sejak pagi tadi aku masih tak ingat kenapa aku hendak pergi bersama mereka ke sini.
Tiba-tiba aku merasakan ponselku bergetar di saku celana. Aku pun segera mengambilnya dan melihat siapa yang menelepon di hari weekend begini. Aku mengerutkan kening melihat nama yang terpampang di layar ponsel. "Halo," sapaku lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atela's Journal [FINISHED]
Teen Fictioncover: pinterest, @linart112 Hidup bersama pasangan, bisa mengggenggam tangannya setiap hari, bukankah semua orang menginginkan ending seperti itu? Selalu menampakkan wajah ceria dengan senyun yang merekah di bibir saat menghabiskan waktu bersama. A...