EPS. 20 | DUGAAN

92 31 2
                                    

SEMINGGU setelah ujian selesai. Kondisi kembali seperti semula. Mavi bilang, kasus kedua yang terjadi di rumah sakit kembali ditutup oleh pihak polisi. Mereka tak menemukan bukti yang valid lagi seperti insiden sebelumnya. "Maka dari itu, La. Aku tak pernah mempercayai polisi sejak kematian ibuku." Perkataan Mavi yang terus terngiang dibenakku. Membuatku sangat iba setiap kali melihatnya.

Hari ini hari Minggu. Setelah penat selama 2 minggu berturut-turut akibat belajar semalam suntuk, aku memutuskan untuk berdiam diri di rumah. Tak ada hal yang akan kukerjakan, hanya rebahan yang bisa kulakukan. Aku meringkuk di atas ranjang, dan perlahan menutup mata. Kembali membuka mata karena lupa mandi. Namun arah mataku langsung tertuju pada sebuah kotak kado usang berwarna kuning di atas meja. Baru ingat bahwa saat itu aku menemukannya di loker. Selama ini aku belum sempat membukanya karena sibuk. Aku pun menyeret kaki menuju meja belajar untuk membuka isinya.

Ada sebuah amplop lama dengan stiker hati ditengah. Setelah dibuka, terdapat secarik kertas dengan banyak tulisan--mirip sebuah surat.

Rumah, 30 Agustus 2005.

Untuk sahabat sekaligus tetangga depan rumah, Atela. Hai, gimana kabarnya sekarang? Semoga makin membaik. Aku cuma ingin bercerita tentang kisah kita selama ini. Aku tahu kamu pasti sudah melupakannya. Semoga kamu membacanya langsung saat sudah bangun.

Kita sudah berteman selama 3 tahun lamanya. Kamu tahu, aku kangen banget masa disaat pertama kali kita bertemu. Dimana ibuku memberi sekotak kue pada keluargamu, sebagai salam hangat dari tetangga depan. Selama ini aku sering berkunjung ke rumahmu untuk bermain. Permainan kesukaan kita adalah mobil-mobilan. Aku tak mengerti kenapa kamu bisa menyukainya, padahal kamu itu perempuan. Satu lagi, terima kasih banyak, La. Sudah menjadi pahlawanku selama di sekolah. Aku nggak tahu gimana nasibku sekarang kalau kamu bukan temanku.

Hari ini aku akan berangkat ke Bali bersama nenek. Aku akan tinggal bersamanya dan menginap di sebuah rumah kecil. Aku janji, La. Aku akan hidup bahagia di sana. Aku nggak bakal jadi laki-laki lemah di sekolah. Aku akan menurut dengan nenek, selalu membantunya bekerja meladang, dan hal lainnya. Aku akan belajar dengan serius dan dapat peringkat satu di sekolah baru. Nggak lama nanti aku akan menjadi pria dewasa yang baik, La.

Sayang, cuma ini yang bisa kutulis. Nenek sudah menyuruhku untuk bergegas sekarang. Aku harap, apa yang aku sampaikan ini bisa membantumu mengingat saat aku sudah pergi. Aku sedih banget lihat kamu terbaring di atas kasur rumah sakit. Aku ingat, salah satu dokter di sana bilang kalau kamu kena penyakit amnesia (entah benar atau tidak tulisannya). Dia bilang, penyakit itu sejenis lupa ingatan. Aku kaget banget kalau kamu bakal ngelupain sahabat dekatmu ini.

Aku pengin banget lihat kamu sekarang. Tapi percuma saja karena kamu belum bangun, terlebih aku juga harus berangkat secepatnya. Aku akan meletakkan surat ini ke dalam terasmu, dengan melemparnya dari luar. Selama kamu masih di rumah sakit, kotak kado ini yang akan melindunginya dari hujan, panas, bahkan badai sekalipun.

Semangat gapai mimpimu, La.

Sahabat bermata biru yang kau kagumi,
Mavi Samee. Bukan Samy Dimmy.

Aku menutup mulut rapat, menahan napas sekuat mungkin. Mataku terbelalak melihat nama yang tertulis di sana. Tak kusangka hal-hal yang disebutkan di surat ini sangat familiar. Membuat pikiranku mendadak jadi kacau. Seketika tubuhku melemas, aku terduduk di bangku belajar. Sedikit syok dengan surat yang entah dari mana asalnya ini.

***

Malam hari pukul 7. Mama yang sudah pulang sejak 3 jam lalu, kini tengah menyiapkan makan malam. Aku yang kondisinya baru bangun, berjalan menuju dapur dengan gontai. Pikiranku sungguh penuh hingga ingin meledak rasanya. Banyak pertanyaan yang ingin sekali kutanyakan pada mama, terlebih Mavi.

Atela's Journal [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang