EPS. 13 | TERCAMPAKKAN

98 35 2
                                    

DENGAN jantung yang masih meloncat tak karuan, aku berusaha membuka mulut.

"Ha-alo Mavi... tumben kita bertemu di sini..." ucapku dengan tawa kering membuatnya sedikit bingung. "Ahh, t-tadi kebetulan aku juga mau beli kopi. Terus nggak sengaja lihat kamu di sana, HAHAHA lucu bukan?" lanjutku dengan tawa kering. Berniat melawak tapi tak ada reaksi yang diberikannya. Sungguh, rasa maluku yang tak dapat ditolong saat ini.

"Ada apa, Mavi...?" tanya seseorang tahu-tahu muncul di sebelahnya. Aku terbelalak tak percaya melihat siapa yang datang.

Dia, Imal Cerdwin yang kukira seorang lelaki tadi. Aku sedikit ternga melihatnya, pakaian yang ia kenakan malam ini... sungguh di luar dugaan. Dengan sepatu sneakers dan topi hitam ala anak tomboy, berbanding terbalik dengan Imal yang biasanya. Bahkan seluruh helai rambutnya ia masukkan ke dalam topi. Lalu matanya... sedikit bengkak dan kemerahan?

"Ngapain di sini? Mesti lo nguntit gue sama Mavi 'kan, dari tadi diem-diem sembunyi di pohon gede ini. Ck, norak banget si lo," nerocosnya membuatku ingin menyumpal itu bibir dower.

Jujur saja aku sedikit penasaran kenapa ia menangis, jarang sekali aku melihatnya sejanggal ini. Keluar malam-malam, pakai baju ala anak tomboy, dan terakhir wajahnya yang tak dapat dibohongi kalau tengah dirudung kesedihan. Namun rasa itu lenyap seketika akibat perkataannya barusan.

Dari pada berdebat tak penting, lebih baik aku langsung cabut saja. Pamit pergi dengan ketus, lebih bermaksud untuk pura-pura cuek agar rasa maluku pada Mavi tadi sedikit berkurang.

Setibanya di rumah aku langsung merebahkan diri di sofa tamu. Kuraih ponsel dari saku celana untuk menelepon Nema. Namun ibu jariku berbelok haluan chat saat dapat notif WA dari Helen.

Helen:
Hai, gimana kabarnya?

Atela:
Lagi sedih nih, boleh curhat?

Helen:
Boleh dong! Helen selalu membuka jasa pendengar curhatan selama 24 jam.

Aku terkekeh pelan membacanya. Lalu mengetik panjang lebar tentang kegalauanku akhir-akhir ini. Mulai dari Mavi yang menjauh akibat suruhan mama yang konyol tanpa sebuah alasan konkrit. Hingga kedekatan Imal dan Mavi yang lama-lama membuatku pening kepala. Tentu saja kutidak menyebutkan inisial namanya.

Helen:
Menurutku mamamu melarang karena ada suatu alasan yang dirahasiakan. Dari siapapun termasuk kamu. Kamu gaboleh tau tujuan dia melakukannya. Tidak mungkin seseorang melarang sesuatu tanpa ada alasan yang jelas. Perintah dari seorang ibu pun jangan kamu sepelekan. Aku yakin niat mamamu baik, dan tak mungkin dia akan menjerumuskanmu, bukan? Dan tentang teman cowokmu didekati perempuan lain, bisa jadi orang itu sedang mencari teman baru. Bukan bermaksud menggantikan posisimu sebagai teman, dia hanya ingin menghargai perintah mamamu. Tujuannya baik, La.

Aku menghela napas panjang. Mungkin saja dia benar, pemikirannya sungguh dewasa dariku. Namun perasaanku masih sedikit mengganjal akibat pengkhianatan mama selama ini. Aku belum bisa menerimanya.

***

"Kau gadisku yang manis... coba lihat aku disini..." terdengar suara nyanyian setengah merdu dari arah pojok kelas. Kumenoleh ke sumber suara dan menemukan Natu yang sedang menikmati nyanyiannya--tapi sepertinya tidak untuk teman-teman di sekitarnya. Kali ini dia membawa gitar sendiri dan tidak merepotkan teman lain.

"Di sini ada aku yang sayang padamu... walau ku tahu bahwa dirimu, sudah ada yang punya...
Namun aku tunggu sampai kau mau..."

Aku menghela napas menatapnya. Lihatlah rupa galau Natu yang sejujurnya sangat lawak, dan suaranya yang cukup mengenaskan untuk didengar. Sungguh pemandangan yang luar biasa saat jam istirahat begini. Bahkan ada beberapa murid yang iseng memberi koin receh kepadanya. Membuat Natu melotot garang dan langsung menggaplok pantat mereka dengan gitarnya. Mengenaskan, bukan?

Kalian tahu, hari ini Mavi tak berangkat sekolah. Sudah 2 hari kita tak berjumpa semenjak kejadian di kafe itu. Saat berangkat ke sekolah tadi pagi pun aku tak melihat tanda-tanda Mavi berada di rumah.

"Lo napa, La?" tanya Nema tahu-tahu wajahnya nongol di depan, membuatku tersentak kaget.

Aku menggelengkan kepala. "Tanya Natu saja, tuh. Kasian kayak anak yang belum dipungut," balasku sedikit malas menangapi. Nema pun menengok ke arah pojok kelas.

"WOW WOW, JANGAN JANGAN KAU MENOLAK CINTAKU...!" teriak Natu membuat seluruh murid di dalam kelas menoleh.

"PUU..TUSKAN SAJA PACAR-

Bugh! Tiba-tiba sebuah ransel meluncur kasar di wajahnya. "Bisa diem, gak?!" seru salah satu teman di dekatnya.

"Nggak!" balas Natu tak lupa dengan mata menedeliknya yang mirip bocil.

"Lo kalo ngajak ribut, sini!" garang orang tadi seraya beranjak dari bangku.

"MammAAAaaa... takutt!" Natu pun berlari ke mejaku lantas bersembunyi di baliknya. Dengan was-was ia mengintip dari balik bangku sembari melihat cowok tadi. Hingga akhirnya orang itu kembali duduk dan sibuk dengan ponselnya.

"Kamu kenapa sih, Nat?" tanya Nema mengagetkan Natu.

"E-eh Ne-nema... kam-"

"Ma, katanya Natu mau bilang sesuatu. Aku duluan ya, bye!" ucapku langsung berdiri.

"L-loh, apa-apaan... bukan gitu, WOI ATELAK!" serunya saat menyadari kupergi.

"Mau bilang apa, Nat?"

Natu menoleh dengan tatapan polos campur bingung. Nema hanya menaikkan satu alis menunggu lawan bicaranya buka mulut. Semenjak curhat tentang perasaannya, Natu makin sering melamun dan menyendiri. Aku tak tega melihat sahabatku seperti itu. Mungkin mengungkapkan perasaan adalah pilihan tepat untuknya.

***

Hari ini hari Minggu. Aku memutuskan untuk mencoba terbiasa tanpa Mavi. Memulainya dengan kegiatan yang lebih produktif. Jujur saja sebelumnya aku sama sekali tak ingin melakukan hal berfaedah akibat perilaku Mavi yang berubah drastis. Sepertinya terlalu lebay bila aku terus-terusan untuk mager keluar kamar.

Aku mengambil tumblr dari atas meja lalu duduk di sofa. Sembafi meminumnya, aku mengusap keringat yang mengalir di dahi. Setelah berolahraga sekitar 5 menit di atas matras, rasanya tubuhku hampir ambruk. Aku lupa sudah berapa lama tak berolahraga pagi hari. Hingga akhirnya ada sedikit niatan untuk mengambil matras yang lama tak kejangkau dari atas lemari.

WIU! WIU! WIU!  Tiba-tiba terdengar suara sirene ambulan yang makin mendekat dari arah utara. Paniknya setengah mati saat suara itu berhenti tepat di depan rumahku. Dengan cepat kuberanjak berdiri dan mengintip dari atap rumah. Seketika mataku melotot tak percaya saat melihat mobil ambulan terparkir di depan rumah Mavi. Pikiran buruk sudah menyelimuti seluruh sisi otakku.

Rasa ingin menengoknya langsung meningkat drastis. Namun sadar bahwa aku dan Mavi masih dalam periode saling tak peduli.

Dengan gerakan cepat keluarlah dua orang petugas dari ambulan, mereka masuk ke dalam rumah Mavi. Suara sirene yang menggema membuat para tetangga pada keluar rumah. Mereka berkerumun di sekitar pagar rumah Mavi dan mulai riuh. Tak lama dua orang petugas tadi keluar rumah diikuti oleh Mavi. Aku menutup mulut melihat pasien yang tergeletak tak berdaya di atas ranjang. Dia, neneknya Mavi?

Aku mendelik tak percaya, dengan gesit kuturun tangga menuju luar rumah agar bisa melihatnya dengan jelas. Namun terlambat akibat mereka yang terlalu cepat pergi menghilang. Menyisakan warga yang tengah riuh berbincang. Kejadian yang sangat cepat itu, hanya memakan waktu sekitar 1 menit. Namun sepertinya akan terus menetap di otak selama 5 hari kedepan. Aku menghela napas panjang. Untung saja kumasih sempat melihat nama rumah sakit dari mobil ambulan tadi.

***

Atela's Journal [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang