EPS. 21 | DUGAAN (2)

105 30 5
                                    

2 HARI kemudian.

Nema terbahak mendengar perkataanku. Ia tertawa yang paling kencang hingga Natu pun jadi korban. Dengan sekuat tenaga, Nema mendaratkan telapak tangangnya pada pungung Natu. Tak hanya sekali, namun berkali-kali yang membuat Natu harus sabar. Aku hanya bisa tertawa melihat ekspresi Natu yang menggemaskan. Kini kami tengah berada di kantin, hanya sekedar bersenda gurau tanpa cemilan di meja.

Tak lama bel masuk berbunyi, kami bertiga pun masuk ke dalam kelas secara beriringan. Kulihat Mavi yang sedang asyik bermain game bersama Guto. Ekspresinya yang serius membuatku sedikit senang, itu berarti ia sudah kembali dengan perasaan normal seperti sebelumnya.

Sedikit informasi yang ia beri, sejak kematian neneknya hari itu Mavi tak terbawa suasana dan terus menangisinya. Dengan gercep, ia mencari lowongan kerja yang cocok untuk anak SMA. Waktu dan tempat kerjanya pun yang tidak akan merepotkan bagi Mavi. Aku sungguh iba mendengarnya. Ia bilang, sejak saat itu keluarga besar Mavi tak ada satupun yang peduli padanya. Bahkan mengubur jenazah neneknya sendiri tak ada yang ikut. Karena itulah aku semakin ingin berada di sampingnya untuk terus mendukung Mavi. Memberinya semangat dan menemaninya disaat kesepian seperti ini.

Kalian tahu, aku juga sudah tak terlalu memusingkan surat usang yang kubaca saat itu. Tentang persahabatanku dengan "Mavi Samee" saat kecil. Bisa jadi Mavi yang sekarang adalah orangnya. Namun ia tidak bisa memberitahunya padaku karena suatu alasan. Dan mama pastinya tidak tahu, walau Mavi bilang dia sering mengunjungi rumahku saat kecil. Mama selalu sibuk di pagi hari, otaknya selalu terfokus dengan bisnis, bisnis, dan bisnis. Terlebih ia tidak mempedulikanku hingga sekarang. Anaknya saja tidak ia pedulikan, apalagi teman dekatnya.

T-tapi tunggu... lalu apa hubungannya dengan larangan mama untuk berteman sama Mavi saat ini? Itu bukan suatu kebetulan bukan?

"Sial! Jadi pusing lagi, 'kan!" seruku sambil mengacak-acak rambut.

"Pusing kenapa, La?" tanya Nema membuatku tersadar dari lamunan. Aku menggeleng sekilas lalu beranjak dari bangku menuju loker. Aku lupa mengambil buku sejarah dari kemarin. Saat kubuka arah mataku langsung tertuju pada sebuah amplop besar di pinggir loker. Aku mengernyitkan dahi melihatnya. Siapa pula yang hendak mengirimkanku sebuah amplop begini. Atau mungkin saja surat cinta?

Aku pun segera membukanya dan menemukan beberapa lembar foto. Seketika mataku mendelik lebar saat melihatnya. Kali ini bukan foto masa kecil yang kutemukan saat itu, melainkan fotoku saat ini. Terpampang jelas wajahku yang tengah tersenyum lebar di lapangan basket. Kulihat foto kedua, wajah yang tengah cemberut di dalam kelas. Dan terakhir ketiga, foto yang memaparkan wajah tertawa lebarku saat di kantin bersama Nema dan Natu. Foto-foto ini menayangkan kejadian yang serupa dengan apa yang kualami beberapa hari terakhir.

Aku menoleh ke kanan dan kiri sudut kelas, mencari bocah yang iseng mengambil gambarku. Namun tak ada yang memerhatikanku dari banyaknya manusia di kelas. Aku kembali memerhatikan lembaran foto ini lalu membaliknya. Tak ada tulisan-tulisan yang aneh pula, setidaknya ada kata-kata unik yang bisa membuatku mencari orang yang mencurigakan. Di detik selanjutnya bulu kudukku meremang. Jadi selama ini... aku diawasi seseorang?

***

Bunyi petir menyambar terdengar menggelegar. Air hujan menghantam bumi dengan kuat. Suasana yang semula biasa saja, kini menjadi mengerikan. Angin bertiup sangat kencang membuat beberapa pohon kecil hilang keseimbangan. Beberapa anak menunggu di lobi sekolah untuk menunggu jemputan. Termasuk aku dan Mavi. Entah dimana Nema dan Natu berada, mereka menghilang saat aku sudah keluar kelas. Aku berharap papa menjemputku disaat badai datang mengamuk begini. Dengan papa yang menyetir mobil pasti akan memperbolehkan Mavi ikut, tak seperti mama yang kejam.

Atela's Journal [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang