CAHAYA matahari masuk ke sela-sela jendela kamar. Membuatku terbangun dan langsung menyipitkan mata. Aku bergegas menuju kamar mandi lalu menyiapkan perlengkapan untuk sekolah. Di lantai bawah kulihat Kak Sinq yang seperti biasa sedang menjomblo di dapur, dengan segelas susu hangat di tangannya.
"Mama mana?" tanyaku padanya.
"Barusan pergi. Katanya mau ke Jogja, ada pertemuan besar sesama direktur di sana."
Aku sedikit kaget menedengarnya. Setelah membentakku secara kasar semalam, sekarang ia pergi untuk bersenang-senang?
"Ada kabar papa bakal pulang?" tanyaku lagi.
"Mungkin nanti," jawabnya yang kubalas dengan kata 'oh'. Hanya berbekal roti bolu sebagai sarapan, aku segera pamit padanya untuk menuju sekolah.
Sampai di kelas aku langsung menuju meja dan meletakan ransel di samping bangku. Cahaya matahari mengenai wajahku lembut. Refleks, kusipitkan mata dan kuangkat tangan untuk melindungi. Tak lama seseorang menarik tanganku dengan paksa membuatku terkejut. Kini ia sudah sempurna berdiri di sampingku seraya berseru,
"Atela!" dengan wajah panik.
"Ape?" balasku santai.
"Kamu sudah tahu beritanya?!" tanyanya dengan pelototan.
Ah, pasti tentang Mavi. Aku hanya tersenyum datar membalasnya.
"Nah 'kan sudah tahu! Kenapa nggak beritahu lagi sih?" rengeknya seraya menggoyangkan tubuhku.
"Apaan sih? Lepasin, gak!" sergahku langsung melepas kedua tangannya.
"Kamu kenapa sih, La? Lagi bertengkar ama Mavi?"
"Bukan bertengkar, cuma..."
"Cuma apa?" tanyanya seraya menaikkan alis.
Aku menghela napas pendek, teringat perkataan pedas mama semalam. Tamparan yang diberikan mama di depan Mavi secara langsung itu, mungkin membuat ia terpaksa menjauh dariku kembali. Padahal saja sekarang ia sangat membutuhkan seorang teman. Tak mungkin aku juga pergi meninggalkan Mavi demi perintah konyol mama yang tak ada alasan jelas itu, bukan?
"Kamu nggak papa 'kan, La?" tanya Nema sedikit cemas.
"Eh, tak apa," balasku seraya mengambil buku pelajaran. "Kamu nggak belajar, Ma?"
"Nggak, kutinggal nyontek kamu saja. La 'kan baik hati dan tidak sombong."
"Idih, ogah amat!"
"Ah, La nggak seru. Kalau nyontek Natu 'kan- suaranya yang mendadak tercekat membuatku mendongak menatapnya.
"Gimana, Natunya jadi bunuh diri nggak?" candaku seraya tersenyum kecil.
"Kok gitu sih, Laa! Natu 'kan sahabat kita," gerutunya dengan bibir manyun.
"Sahabat apa pacar?"
"Nih ya, La. Aku tuh seratus ribu juta miliyaran persen yakin banget nggak suka sama Natu..." tiba-tiba kalimatnya menggantung saat melihat ke arah belakangku. Kutengok ke arah yang serupa, dan seketika mataku melotot lebar. Lihatlah, kini Natu tengah berdiri di belakang kelas dengan tubuh yang membeku. Saat ini kondisi kelas masih sunyi, dan kemungkinan besar Natu mendengar ucapan Nema barusan.
Di detik berikutnya wajah Natu berubah sedih, mengernyit jelek, dan kemudian menangis. Dengan gaya mirip anak kecil, ia berteriak lari keluar kelas.
"Loh, loh, LAA! Gimana ini, Natu mau bunuh diri!!" seru Nema panik langsung berdiri.
"Elah, mana berani dia," balasku santai, kembali membaca buku paket.
"Jangan gitu, La!! Ayo bantu cegat dia sebelum terlambat!" Dengan menggoyangkan tubuhku, Nema masih saja berseru panik. Hingga akhirnya setelah bujukannya yang kelima, aku pun melangkahkan kaki dari bangku. Berjalan santai di belakang Nema yang berlari pontang-panting keluar kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atela's Journal [FINISHED]
Teen Fictioncover: pinterest, @linart112 Hidup bersama pasangan, bisa mengggenggam tangannya setiap hari, bukankah semua orang menginginkan ending seperti itu? Selalu menampakkan wajah ceria dengan senyun yang merekah di bibir saat menghabiskan waktu bersama. A...