EPS. 35 | BERUBAH DRASTIS

33 5 0
                                    

DENGAN langkah tergesa aku menuju ruang makan untuk sarapan seperti biasa, roti dengan selai kacang. Namun terkejutnya bukan main ketika melihat meja makan yang sudah tersedia berbagai macam masakan lezat. Aku menelan ludah melihatnya, siapa pula yang susah-susah membuat semua makanan ini? Bahkan kalau dihitung-hitung, sekitar pukul 4 pagi orang itu baru memulai masak.

Saat mengambil sendok sayur, arah mataku terpaku pada secarik kertas memo yang tertempel di atas meja.

"Dengan penuh cinta, makanan ini Mama buatkan untuk kalian berdua, khususnya La. Semangat sekolahnya, Nak!"

Aku menghela napas panjang. Sungguh aku tak mau kembali terjebak dalam sandiwarannya. Dari pada pusing memikirkan masa lalu, aku pun segera mengambil nasi dengan lauk, memakannya dengan cepat, dan langsung bergegas menuju pintu.

"Loh, Mbak. Ngga mau saya antar saja?" tanya seseorang membuatku menoleh.

"Ehh, saya mau berjalan sendiri saja, Pak,"

"Begitu ya, Mbak. Hati-hati dijalan ya!" serunya yang kubalas dengan anggukan.

"AYOK, La! Kamu pasti bisa!" seruku pelan dengan kedua tangan mengepal di atas. Berusaha agar feel okay bila tiba-tiba muncul Mavi di hadapanku nantinya. Sejak pertemuan kami di kafe kala itu, aku memang sengaja untuk mengurung diri di rumah. Mengabaikan segala pesan Mavi, bahkan memblokirnya. Bukannya benci, melainkan berusaha agar bisa melupakannya.

Kali ini aku memilih berjalan menuju sekolah karena di internet bilang bahwa berjalan adalah salah satu cara untuk menghilangkan rasa penat di kepala. Seperti hal nya move on yang membuat beban di otak.

Aku tertawa getir, belum sempat singgah dihatinya saja sudah harus move on.

Saat membuka pagar, sontak gerakan tanganku ternehti. Melihat seseorang yang tengah membuka pagar rumah di depan sama sepertiku. Mata kami pun saling bertemu, menatap satu sama lain dengan terkejut. ADUHH, kenapa harus sekali bersamaan waktunya? Bagaimana in--

Tiba-tiba Mavi melangkah mundur membuat otakku berhenti berpikir. Ia menggerakkan tangan kiri ke arah samping lalu berkata, "Kamu duluan saja, aku akan berjalan nanti." Di detik selanjutnya ia menutup pagar dan menghilang dari pandangan. Aku mengerjapkan mata melihat tingkahnya.

A-apa itu barusan...?

Sedikit lama otakku bekerja dengan lamban, akhirnya kuputuskan untuk bergegas ke sekolah.

***

Pukul 9 pagi, di ruang kelas.

"Siapkan secara matang materi ujian praktek minggu depan. Metode yang kalian gunakan bisa ekstemporan atau membawa naskah. Pilih salah satu diantaranya, namun Ibu tetap akan menambah poin bagi murid yang menyampaikan pidato dengan jelas dan rinci," jelas Bu Rimen dengan tegas.

Aku hanya mantuk-mantuk mendengarnya. Sedikit bingung karena bukankah pidato adalah pelajaran bahasa? Sedangkan kali ini kami tengah mengikuti pelajara sejarah.

"Sekarang, silahkan kalian manfaatkan waktu istirahat untuk mencari materi. Banyak dari materi kalian yang hanya bisa dicari melalui buku perpustakaan. Ibu sengaja membuatnya agar kalian rajin membaca buku perpus. Sekian yang bisa Ibu sampaikan, selamat pagi, Anak-anak!" serunya lalu pergi meninggalkan kami.

"Terima kasih, Bu!" seru murid satu kelas dengan serempak. Didetik setelahnya ruang kelas pun menjadi riuh dengan sorak gembira, ada pula yang mengeluh kesal.

"Hish, baru hari pertama masuk masa langsung dikasi tugas praktek!" gerutu Nema di depanku. "La, ayo kita ke rooftop saja yuk. Dari pada merepotkan diri ke perpus."

Atela's Journal [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang