EPS. 39 | CANDAAN YANG SERIUS

27 3 0
                                    

2 MINGGU berlalu. Hari-hari yang menyebalkan pun tetap berlanjut. Kalian tahu, sejak ujian praktek drama bahasa Inggris kala itu, Mavi menjadi sangat terkenal di kalangan murid perempuan. Bukan hanya satu angkatan, melainkan tiga angkatan sekaligus. Saat itu guru yang mendampingi kami tengah merekam akting para pemeran di kelompok Mavi. Karena hasilnya diluar ekspetasi--akibat akting Mavi yang sungguh memukau, dia pun memostingnya di website sekolah. Bahkan ditayangkan langsung di layar lebar dekat aula sekolah. Membuat semua murid yang lewat dapat melihatnya.

Sejak saat itu, nama Mavi dikenal banyak murid sekolah. Kali ini bukan anggapan buruk yang ada di pikiran mereka, melainkan sebuah prestasi hebat yakni jago bermain peran. Antara sedikit senang dan sebal mengetahuinya, bercampur jadi satu di benakku.

Hari Senin, hari pembagian ranking sekolah untuk menentukan siswa eligible. Ada sekitar 100 siswa dengan rangking teratas yang akan mendapatkan formulir SNMPTN. Tentu saja aku, Nema, dan Natu tak ikut masuk. Tidak perlu melihat datanya pun, kami sudah tahu itu.

"Hei," panggil seseorang dari kejauhan membuatku menoleh. "Apa kalian tak menuju aula untuk melihat ranking?"

"Nggak perlu lihat pun kami sudah tahu, Liyun," jawab Nema datar.

"Ishh, masa ketua kelas nggak tahu kalo kita ini gobloknya seangkatan," sahut Natu seraya meletakkan kedua tangan di pinggang.

Liyun pun tertawa mendengarnya. "Ya, siapa tahu kalian penasaran dengan murid lain yang masuk."

"Memang siapa saja?" tanyaku langsung.

"Di kelas kita hanya ada 3, aku, Andrano, dan Mavi," jawabnya yang membuatku sedikit senang. Syukurlah bila anak itu masuk. Dengan begitu ia tak perlu susah payah mengikuti tes SBMPTN yang memerlukan biaya yang tak sedikit.

Tak lama terdengar suara riuh yang tak jauh dari kami. Refleks, kami pun menoleh ke sumber suara. Ternyata segerombolan anak perempuan angkatan kami tengah mengerubungi Mavi dengan hebohnya. Aku bisa melihat wajah anak itu karena dia sendiri yang paling tinggi. Mereka gempar hendak memberi Mavi sesuatu, membuat si Genter itu kewalahan dalam menerimanya. Bahkan ada juga yang ingin meminta tanda tangan serta foto bersama. Dih, lebay banget jadi cewe...

"Eh, bukankah itu Mavi? Kenapa cepat sekali dikerubungi orang? Beruntung banget ya La... dia menang banyak cew--"

BUGH! Walau tengah menghadap ke arah Mavi, aku yakin sekali kalau itu adalah suara gebukan Nema pada Natu di belakangku.

"Mohon untuk sangat ya, Nat. Atela tuh sedang berada di tahap melepaskan Mavi untuk selama-lamanya. Dan kita sebagai sahabat harus selalu mendukung Atela. Tapi kamunya justru mengingatkan orang itu padanya, apa-apaan maksudmu?!" seru Nema berbisik dengan penuh tekanan.

"T-tapi 'kan, memang benar sekarang Mavi--"

"NATUU!! Astaga, bener-bener ya... pemberantasan spesies kayak kamu harus segera ditangani di seluruh penjuru kota. Cepat sini, ikut aku!" bentaknya pelan yang membuatku menoleh.

"Mau kemana, Ma?"

"Mau ke dukun bentar. Ini anak butuh banget guyuran air anget soalnya," ucapnya sembari menjewer telinga Natu layaknya sang ibu kepada anaknya yang amat bandel. Dengan kesakitan Natu berusaha menyeimbangi langkah Nema pergi menjauh, meninggalkanku dan Liyun sendirian.

"Eh La, katanya di kantin ada gerai makanan baru, lho. Tapi mereka cuma menjual seafood ala Korea gitu. Ke sana bentar yuk, aku yang traktir deh," tawar Liyun yang membuatku sedikit senang. Siapa sih yang nolak kalau ditraktir makan?

"Tahu dari mana kamu?"

"Ah, itu... sebenarnya memang pihak OSIS yang membuatnya. Khusus bulan Februari ini saja, entah apa tujuannya."

Atela's Journal [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang