SESUAI jadwal, kami akan naik kapal menuju pulau Batam saat pukul 10. Namun karena mendadak hujan lebat, pelayaran kami diundur. Satu jam menunggu reda, akhirnya kami berangkat dengan feri yang semula menuju Batam. Aku harap hujan tak datang lagi. Sungguh mengerikan bila malam-malam naik kapal dengan ditemani hujan. Setelah menuju pelabuhan kami pun masuk kapal secara berdampingan.
Kali ini aku lebih memilih berdiam diri di dalam ruangan dari pada kedinginan di geladak kapal. Aku mengambil cemilan yang sengaja kutaruh di ransel kecil.
"Mau, La!" seru Natu yang entah dari mana langsung menyambar bungkus dari tanganku. Dengan tangan yang membuka lebar, ia rakus mengambilnya. Membuatku mengernyitkan dahi. "Terima kasih." Dengan cengiran khasnya, Natu kembali pergi menghilang. Beruntung isi cemilanku masih banyak. Kalau tak, akan kuhantam anak culun itu.
"La, ngantuk," lirih Nema yang berada di sebelahku dengan mata berkunang-kunang.
Aku menepuk bahuku sekali. Nema pun langsung menggeletakkan kepalanya di pundakku. Sedangkan aku kembali melahap cemilan hingga ludes. Setelahnya aku berniat untuk bermain game, namun ibu jariku berbelok ke WhatsApp karena ada pesan yang belum kubaca.
Aku sedikit terbelalak saat melihat banyak pesan masuk dari Mavi. Ternyata selama ini dia mengirimkan pesan padaku. Jujur saja aku tak terlalu peduli dengan notifikasi yang menumpuk. Terlebih aku jarang bermain ponsel akhir-akhir ini. Mungkin dia mengirimnya saat aku sedang tak memegang ponsel.
Seketika aku tertegun membacanya. Mulai dari hari pertama tur hingga sekarang, dia tetap mengirim pesan walau kuacuhkan. Bukan, bukan aku abaikan, melainkan memang aku tak tahu. Aku menggigit bibir bawah, sembari berpikir hendak jawab apa ini.
Atela:
Maafkan aku, Mavi. Aku tak tahu bila ada pesan yang masuk darimu.Mataku kembali mendelik. Tak kusangka Mavi langsung membacanya.
Mavi:
Haha, tak apa, La. Aku cuma ingin memastikan kondisimu baik-baik saja.Ya Tuhan, bisa-bisanya Mavi masih bisa tertawa. Aku yakin wajahnya kini memang asli sedang terkekeh. Tak sepertiku. Kalau mengirim pesan tertawa tak musti selalu menunjukkan wajah tawa, yang ada tetap datar.
Atela:
Aku baik, Mavi. Kamu sendiri?Mavi:
Yah, seperti biasa.Atela:
Kamu nggak sedang bersama Imal? Kenapa bisa bermain ponsel?Mavi:
Hei, yang benar saja. Aku memang bersamanya, dengan begitu aku tidak boleh bermain ponsel?Atela:
Boleh aja sih. Keterlaluan banget kalau nggak.Mavi:
<emot tertawa> Imal sedang tidur, La. Omong-omong nanti aku-"Atela!" seru seseorang membuatku mengalihkan padangan dari ponsel. Tepatnya belum selesai membaca pesan Mavi kusudah menoleh duluan.
"Wali kelas memanggilmu dengan Guto," ucap salah satu teman kelas membuatku terkejut. Seingatku aku tak melakukan kesalahan apapun. Lalu Guto, apa hubunganku dengannya?
"Cepatlah, sudah ditunggu di ruangan para guru."
Aku pun mematikan ponsel dan menyimpannya di ransel.
"Bangun, Ma," ucapku pelan seraya menepuk pundaknya.
"Hmmm..." gumamnya seraya menarik kepala, tak lama ia menjatuhkannya kembali di kursi sebelah dengan keras. Namun tak membuatnya kaget dan justru tetap tidur dengan nyenyak. Aku pun bergegas keluar untuk menuju ruangan para guru. Saat aku selesai menaiki anak tangga, tiba-tiba arah mataku tertuju pada orang yang berada di sisi kiri geladak kapal. Aku menyipitkan mata melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atela's Journal [FINISHED]
Ficção Adolescentecover: pinterest, @linart112 Hidup bersama pasangan, bisa mengggenggam tangannya setiap hari, bukankah semua orang menginginkan ending seperti itu? Selalu menampakkan wajah ceria dengan senyun yang merekah di bibir saat menghabiskan waktu bersama. A...