DRAP! Drap! Drap! Suara langkah sepatu menggema di sepanjang lorong rumah sakit. Setelah membisu selama beberapa menit di kafe lantai bawah, dengan ditemani Nema dan Natu, aku kembali menuju kamar Kak Sinq. Aku terlalu takut untuk balik menuju rumah akibat kejadian "menghilangnya Helen" masih menghantui pikiranku.
Ckrek! Blam! Entah kenapa suasana di sini sangat sunyi, hingga suara pintu dibuka dan ditutup pun masih terdengar di sepanjang lorong.
"Lagi galau, Teh?" tanya Kak Sinq tiba-tiba yang tengah duduk di atas ranjang.
Kampret! Gue lagi dirudung kesedihan denger suara lu bikin mood anjlok, tahu!
Namun aku hanya diam, tak merespon apapun pertanyaan Kak Sinq.
"Mama bilang bakal balik lagi ke sini besok. Katanya udah pesen ama lu kalo suru jagain gue semaleman. Yah, baguslah kalo lu nurut," tutur Kak Sinq yang lagi-lagi tak kubalas apapun.
Aku berniat untuk merendam diri dalam air dingin, agar otakku bisa kembali bekerja dengan sempurna. Setelah hampir 1 jam berusaha me-refresh otak, aku beranjak keluar dari kamar mandi. Dengan baju seadanya milik mama, dan tentu saja kebesaran.
Kulirik Kak Sinq yang tengah tertidur pulas di ranjangnya. Beruntunglah bila dia sudah makan malam plus minum obat--terlihat dari piring bekas dan sobekan bungkus suatu pil di meja makannya. Aku pun segera menyingkirkan piring dan membersihkan meja makan itu, lalu meletakkannya kembali di tempat semula. Setelahnya aku menuju ke bawah untuk mencari makan malam. Perutku sudah berbunyi nyaring sejak berada di bath up tadi, akibat belum makan siang.
"Ini Kak, pesanannya." Sang pelayan menyodorkan sepiring nasi dan semangkuk sup padaku. Aku pun menerimanya dan segera melahapnya.
Orang-orang yang berada di sini sibuk berjalan lalu lalang. Sedikit riuh dengan suara yang memenuhi seluruh penjuru resto. Menyisakan keheningan di otakku. Kini kuberusaha mengingat kembali kejadian mengerikan sore tadi. Entah kenapa insiden tadi masih saja terngiang di otak dengan kejanggalan yang terus menyelimuti.
Helen lebih dulu menghilang sejak sambungan kami terputus, bahkan sebelum aku berangkat menuju bangunan itu. Jejaknya saja hanya ada suara minta tolong yang ternyata berasal dari telepon hybrid. Namun aku ingat betul suara itu serupa dengan suara yang selama ini kudengar saat sedang menelpon Helen.
Apakah Helen... sedang menjebakku? Tiba-tiba pemikiran itu terlintas begitu saja di otakku.
Kurasakan ponselku bergetar di saku celana. Tanda telpon masuk dengan nama yang tertera di sana adalah Nema.
"Halo-"
"Halo La, apa kamu sudah merasa lebih enakan sekarang? Aku masih mecemaskan keadaanmu yang terus terdiam layaknya orang kesurupan sejak tadi sore," tanya Nema seperti mendesak.
"Iya, Ma. Udah ga kesurupan lagi nih," balasku tertawa.
"YANG BENAR SAJA HEI, TADI KAU BENERAN KERASUKAN SETAN DARI BANGUNAN TUA ITU?!" Ia pun berteriak panik membuatku harus menjauhkan layar ponsel dari telinga.
"Nggak, Ma, hanya bercanda. Ada apa memangnya?"
"Emm, apa ada masalah dengamu, La? Kenapa kita mendadak sekali harus menuju bangunan tua tadi?"
Aku menghela napas pendek. Sepertinya... aku harus menceritakan persoalan ini padanya. Kalau tidak dia akan terus bertanya padaku tentang insiden yang terjadi sore tadi. Aku pun menceritakan nya dari awal kami berjumpa lewat WhatsApp, hingga--
"Tunggu, siapa namanya tadi? Helen Yadiem?" potong Nema dikala aku masih seperempat bercerita tentang anak itu.
"Ya, Helen Yadiem seorang model yang berasal dari Bandung, kota kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Atela's Journal [FINISHED]
Teen Fictioncover: pinterest, @linart112 Hidup bersama pasangan, bisa mengggenggam tangannya setiap hari, bukankah semua orang menginginkan ending seperti itu? Selalu menampakkan wajah ceria dengan senyun yang merekah di bibir saat menghabiskan waktu bersama. A...