MINGGU ujian praktek tiba. Kali ini aku akan sungguh-sungguh dalam melaksanakannya. Hari pertama dimulai dengan kegiatan debat dari pelajaran bahasa. Aku dan teman-teman kelompok sudah mempersiapkan materinya dengan matang, membuat permbicaraan kami lancar saat maju di depan kelas. Begitu pula dengan pidato sejarah di jam berikutnya. Dengan lancarnya aku bisa menjelaskan banyak materi tentang Tan Malaka. Membuat Bu Rimen terpukau denganku yang notabene adalah anak terbandel dimatanya.
"Widih, calon-calon public speaker nih!" seru Natu ketika aku tiba di luar kelas. Aku terkekeh geli mendengarnya.
"Aku baru tahu kalau kamu pintar ngomong di depan kelas, La. Keren keren!" puji Nema seraya bertepuk tangan.
"Mau tahu rahasianya?"
Mata Nema seketika berbinar mendengarnya, ia menatapku dengan antusias. "Apa?"
Aku pun membisikkan sesuatu pada Nema, membuat ia tampak sangat terkejut dengan jawabanku.
"Sungguhan?!" tanyanya tak percaya. Aku pun mengangguk sekilas dengan senyum geli. "Oke, baiklah. Terima kasih banyak, La. Sekarang sepertinya giliranku untuk berpidato," ucapnya langsung pergi meninggalkanku. Aku tertawa menatap punggung Nema yang kini sudah berada di dalam. Sebenarnya aku hanya mengada-ada soal rahasia jago bicara di depan kelas. Aku memberi Nema sebuah mantra yang bisa menjadikannya tak gugup dalam berpidato nanti.
***
Pulang sekolah sekitar pukul 12, aku, Nema, Natu, dan teman-teman lainnya sepakat untuk berlatih drama bahasa Inggris. Tujuan kami adalah rumah Natu yang tak terlalu jauh dari sekolah. Sesampainya di sana kami diantar menuju ruangan dekat dengan taman belakang--ruangan khusus untuk para teman Natu bila sedang berkunjung.
"Sebentar ya, aku akan ambil naskah di kamar dulu," ucap Natu lalu pergi menghilang.
"La," panggil Nema dengan berbisik. "Bukankah sebelumnya tempat ini tidak ada?"
Aku mengangguk-angguk pelan. "Terakhir kali kita ke sini bukankah saat tahun kemarin?"
Nema berpikir sejenak. "Entahlah, sepertinya memang sudah lama sekali. Dan lihatlah anak di sana itu, bukankah Natu dari dulu tak punya adik permpuan?" tanyanya seraya menunjuk anak kecil di taman yang tak jauh dari kami.
Aku tampak terkejut melihatnya. "Mungkin saja sepupu," sahutku. Nema menaikkan pundak tak tahu.
5 menit kami menunggu, Natu belum juga menampakkan batang hidungnya.
"Natu kemana, sih? Lama amat!" celetuk salah satu teman membuat kami semua menoleh.
"Samperin saja, yuk La! Dari pada nunggu lama begini," usul Nema yang kujawab dengan anggukan. Kami pun menuju kamar Natu yang terletak di lantai atas. Cukup lama kami berjalan hingga akhirnya sampai di depan kamarnya. Seketika mataku terbelalak ketika melihat kamar Natu yang tampak berserakan. Baju-baju berhamburan di lantai dan ranjang, bahkan banyak wadah plastik yang bertaburan dimana-mana, layaknya kapal pecah. Tampak Natu yang sedang mengubrak-abrik isi lemari pakaian dengan paniknya.
"Ada apa, Nat?" tanya Nema seraya mendekati Natu.
Sontak, Natu menoleh menatap kami dengan terkejut. "Sejak kapan kalian di sini?!" tanyanya balik.
"Barusan."
"Memangnya kamu cari apa?"
"A-anu, kostum penyihirnya... hilang!" serunya tambah panik.
Nema melotot terkejut mendengarnya. Namun reaksiku hanya biasa saja.
"Memang kamu taruh dimana sebelumnya?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Atela's Journal [FINISHED]
Ficção Adolescentecover: pinterest, @linart112 Hidup bersama pasangan, bisa mengggenggam tangannya setiap hari, bukankah semua orang menginginkan ending seperti itu? Selalu menampakkan wajah ceria dengan senyun yang merekah di bibir saat menghabiskan waktu bersama. A...