4 TAHUN kemudian.
"Selamat kepada Ananda Husam Natuwaz Ghifari, yang telah meraih nilai Cumlaude dengan IPK sebesar 3,86!" seru pembawa acara wisuda yang diikuti tepuk tangan meriah dari seluruh penonton. Aku menutup mulut rapat dengan kondisi hatiku yang terhenyuh. Sungguh diluar dugaan, seorang Natu yang kukenal sebagai orang terkonyol dan selalu mendapat ranking terakhir saat SMA, bisa mendapat penghargaan luar biasa seperti itu.
Acara wisuda yang meriah dan tentu mengharukan ini berakhir pada pukul 1 siang. Setelah hiburan berupa 2 lagu yang dibawakan dari rektor kami di atas panggung, aku dan teman-temanku berpisah di depan gedung. Sempat menangis terharu akibat hari ini merupakan hari terakhir, kami berpelukan bersama dan melambaikan tangan satu sama lain. Tak berselang lama setelah kami berpisah, suara yang amat familiar terdengar begitu jelas di telingaku. Aku tersenyum dan menoleh hingga sesuatu yang terasa empuk dan kenyal menghantam tubuhku.
"ATELAAA!" Terdengar teriakan Natu yang amat lantang. Namun tetap slay. Ia memelukku erat. "Atela..." isaknya dengan suara pelan. Aku terkekeh sembari membalas pelukannya.
"Cup cup, tak perlu menangis, kawan."
"HUHU ATELA!" serunya justru tambah menangis kencang. Lagi-lagi aku terkekeh. "Terima kasih banyak, La. Sudah mendukung dan menemaniku berjuang selama ini. Tanpa keberadaanmu, mungkin pencapaian hari ini nggak bakal bisa kuraih," ucapnya sembari mengeratkan pelukan. Aku menepuk punggung Natu pelan.
"Bukankah wajib bagi seorang teman untuk selalu men-support sahabatnya sendiri dalam mencapai sebuah impian?" balasku seraya tersenyum. Natu hanya balas mengangguk. "Namun lagi-lagi balik pada dirimu sendiri, Nat. Semua usaha dan kerja keras yang kamu lakukan selama ini adalah perbuatanmu. Siapa lagi yang akan terus mendorongmu untuk melakukan semuanya. Hanya dirimu sendri, Nat." Aku menepuk punggungnya pelan.
"Ya, aku tahu..." Natu menghirup ingus kuat-kuat, sedikit membuatku menekuk wajah.
"Maaf, La. Apa kamu punya ti--" kalimat Natu yang mendadak terpotong membuat tanganku ikut berhenti.
"Ada apa, Nat?"
"K-kau... tidak punya hubungan dengan Mavi, kah?" Pertanyaan diluar dugaan yang sangat aneh terlontar begitu saja dari mulut Natu.
"Apa maksudnya?!" seruku seraya melepas pelukan, melihat wajah gugup, takut, sekaligus tidak percaya Natu dengan heran. Ia melihat ke belakangku dengan keadaan mulut terbuka.
Ia pun tertawa kering lalu berucap, "Bila hendak membunuhku, kenapa wajahnya begitu cerah dan ceria seperti itu?"
"Kamu ngomong apa sih--"
"Atelaa!" Belum sempat ucapanku selesai, tiba-tiba terdengar seruan sukacita dengan suara yang familiar. Terkejutnya bukan main ketika arah mataku menemukan sosok lelaki yang berada tepat di belakangku.
"Ma-Mavi?!!" seruku tak percaya dengan keadaan mata yang masih membulat sempurna.
"Hai, La. Bagaimana kabarmu?" Pertanyaan yang begitu khas ketika Ia bertemu denganku kembali. Dengan senyuman gembira dan lembut menghiasi wajah tampan itu. Tanpa berpikir panjang, aku pun langsung melompat dan memeluk lehernya erat. Menenggelamkan seluruh wajahku di atas pundaknya. Mavi terkekeh pelan sembari memeluk punggungku balik.
Selang beberapa detik, tiba-tiba terdengar deheman keras dari arah samping membuat kami terkejut.
"Bisakah kalian tak menghiraukanku dan bermesraan di depanku seperti itu?!" seru Natu dengan pelototan mata namun justru tampak lucu dimataku. Aku dan Mavi pun tertawa.
"Maafkan aku, Nat. Aku tak bermaksud membuatmu terganggu," ucapku terkekeh seraya menepuk pundaknya. Natu pun meleotkan bibir kesana kemari yang membuat Mavi kembali tertawa.
"Yeah, kau memang berhak melakukan apapun bersama kekasihmu. Asal kau bahagia. Aku ikut bahagia denganmu." Natu tersenyum lebar menjadikan matanya menyipit. Tak kusangka ucapan Natu membuat hatiku terhenyuh. Seolah kalimat tersebut menjadi kalimat perpisahan kami.
"Dan kau!" Natu menunjuk Mavi dengan mata melotot. Membuat lelaki genter di sebelahku terperanjat. "Kalau sampai membuat sahabatku terluka hingga menangis..." Ia melayangkan ibu jari dari pangkal hingga ujung lehernya. Seolah sedang menyayatnya dengan benda tajam. Tak lupa matanya yang masih mendelik lebar.
Mavi mengangguk tersenyum yang justru membuatku heran.
"Ya, kau bisa mempercayakan seutuhnya padaku," ucap Mavi. Cukup lama keheningan menyergap hingga aku teringat sesuatu.
"Natu." Aku menepuk pundaknya lalu membisikkan sesuatu. Hanya 5 kata yang kusampaikan, bisa membuat dirinya kaget bukan kepalang.
"BENARKAH, LA?"
Aku mengangguk tersenyum menjawabnya.
"OKE, OKE! Aku pergi dulu! A-apa yang harus kulakukan sekarang?!" serunya panik seperti orang linglung. Namun tak dapat dipungkiri bila wajah bulatnya itu menampakkan kebahagiaan. "Ah ya, pergi ke taman dekat perpus! TERIMA KASIH BANYAK, LA!" teriaknya langsung bergegas lari menuju arah barat. Aku terkekeh kecil melihat punggung Natu yang kian menjauh.
Pagi tadi saat kutiba di depan kampus, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku yang jelas membuatku terkejut. Keterkejutanku bertambah ketika arah mataku menangkap sosok perempuan cantik berambut pendek di belakangku. Ia tersenyum penuh kegembiraan seraya berseru,
"ANNYEONG ATELA SAYANGKUH!"
Ya begitulah. Pertemuanku dengan Nema yang dibilang sangat mengharukan. Aku berkata sebenarnya bahwa aku tak bermaksud melebih-lebihkan rasa rinduku kepadanya. Namun akibat wajah Nema yang dipenuhi air mata dan bahkan membuat maskaranya luntur, terpaksa air mataku pun ikut jatuh. Aku sedikit mengasihani dirinya bila yang menangis hanya satu pihak saja.
Setelahnya, kami pun bertukar cerita hingga kutertinggal acara wisuda sekitar 30 menit.
Kalian pasti tahu, seberapa rasa bahagia seseorang ketika bertemu sahabatnya kembali setelah beberapa tahun tak berjumpa. Ya, kami pun merasakannya.
Sementara itu, Mavi yang sedari tadi ikut tersenyum kini melangkah mendekat seraya merangkul pundakku.
"Atela," panggilnya lembut. "Di hari kelulusanmu ini, aku ingin mengatakan sesuatu. Untukmu." Ia membungkukkan badan hingga wajah kami bertemu. Ditambah kedua tangannya yang menggenggam erat jariku, jelas keadaan jantungku tak baik-baik saja.
"Aku mencintaimu, Atela Dohain. Aku ingin dunia tahu, bahwa satu-satunya perempuan yang aku kagumi sejak kecil hanya kamu. Ya, kau sangat mungil begini, mudah saja bagimu untuk masuk ke hatiku. Aku tulus mencintaimu, La. Aku seperti ini, bukannya ingin bersikap dramatis di hadapanmu. Namun itulah yang kurasakan sesungguhnya." Mavi menatapku dengan tatapan dalam. Sedangkan aku tak berkedip sekalipun mendengar ucapannya.
"Let's spend the rest of our life for loving each other. No matter how big the problem, we'll face it together. Until your hair turns white, I'm still there for you. So, do you agree if I want to become your forever husband, and father for our future children?"
Pertanyaan yang sungguh membuatku terhenyuh. Aku menatap kedua matanya dalam, sembari tersenyum haru.
"Yes. I agree."
Mavi kembali tersenyum lebar menatapku. Terlihat kedua matanya yang berkaca-kaca, membuat bola mata biru itu tampak lebih memesona.
Dia kembali mengeratkan genggamannya, lalu merangkul pundakku untuk menikmati pemandangan di depan kami.
-SELESAI-
KAMU SEDANG MEMBACA
Atela's Journal [FINISHED]
Teen Fictioncover: pinterest, @linart112 Hidup bersama pasangan, bisa mengggenggam tangannya setiap hari, bukankah semua orang menginginkan ending seperti itu? Selalu menampakkan wajah ceria dengan senyun yang merekah di bibir saat menghabiskan waktu bersama. A...