EPS. 54 | THE LAST PAGE OF MY JOURNAL

18 2 0
                                    

10 HARI kemudian setelah balik menuju rumah. Kini kutengah duduk santai sembari melihat pemandangan luar jendela. Beberapa desain gambar yang kubuat berceceran memenuhi meja. Sedikit mengotori lantai akibat terlalu banyak. Dengan secangkir cokelat panas yang menemani, momen ini sungguh membuat perasaanku tenang. Perlu kuceritakan sedikit tentang musibah kami sebulan lalu.

Kecelakaan kala itu, membuatku harus terbaring tak berdaya di rumah sakit. Aku mengalami koma selama sebulan penuh akibat terlalu banyak menghirup asap kebakaran. Sedangkan Mavi, perlu menjalankan operasi perut akibat mengalami pendarahan hebat. Di tengah operasi yang dijalankan olehnya, terdengar bunyi yang keluar dari monitor detak jantung. Suara itu jelas membuat sang dokter tertegun dan berduka. Tanda ia gagal dalam menyelamatkan nyawa seseorang.

Dokter dan beberapa perawat yang lain pun segera meninggalkan ruang operasi. Menyisakan kesunyian ruangan yang penuh dengan duka. Kala itu, mereka harus menunggu hingga 30 menit lamanya sebelum pasien dinyatakan benar-banar wafat. Di detik menjelang waktu sampai pada puncaknya, kala sang dokter sudah hampir putus asa hingga mama yang berada di sana ikut menangis, keajaiban pun terjadi. Tuhan memberi kesempatan pasien untuk memanfaatkan waktu di dunia lebih lama lagi.

Ketika sang perawat tengah mengemas peralatan bedah, ia melihat ke arah monitor icu dengan terkejut. Siapa sangka, detak jantung pasien yang semula hanyalah garis lurus kini berubah kembali membentuk pola beruntut pertanda ia masih hidup. Sang perawat pun segera berlari memanggil dokter dan perawat lainnya. Menyerukan kabar bahagia bagi mereka terutama untuk mama.

Beberapa minggu setelahnya Mavi dinyatakan sembuh total. Ia kembali menjalani hari-hari biasanya dengan berbalut kaus rumah. Tak lama kemudian, ia meminta ijin pada mama untuk merawat dan menjagaku. Mama jelas terkejut dengan ucapan Mavi kala itu.

"Saya sangat berterima kasih padamu, Mavi. Tidak perlu meminta ijin, kau bebas menemani dan menjaga anak saya kapanpun," ucapnya dengan Mavi kala itu. Kepercayaannya pada anak itu kini tidak dapat dibantah lagi. Satu-satunya seseorang yang menolongku pada malam itu agar tak menghirup asap terlalu banyak, hingga mengurangi resiko kematianku, hanyalah dia. Maka dari itu, perasaan mama yang semula sudah baik pada Mavi, kini menjadi meningkat 2 kali lipat.

Sedangkan mama hanya menjengukku di malam hari, atau bahkan 2 hari sekali karena pekerjaannya. Ia harus mondar-mandir dari Bandung menuju Banten akibat suatu proyek yang dikembannya di sana. Sebelumnya saat Mavi masih menjadi pasien di rumah sakit, hanya seorang perawat bayaran saja yang merawatku. Aku tahu mama melakukan semua itu demi aku dan Kak Sinq. Dan aku percaya itu.

Aku kembali menghela napas lalu memejamkan mata. Mengambil cangkir cokelat panas untuk menyesapnya. Sungguh momen berharga yang tak terlupakan bagiku. Terlibat sengketa dengan keluarga orang lain, bahkan ada kaitannya dengan masa lalu kami, membuatku belajar banyak hal. Terlebih seseorang yang sudah kudambakan sejak kecil keberadaannya. Mavi Samee, lelaki yang berhasil mengubah hidupku. Hanya dia, yang Tuhan perkenankan untuk melewati semua ini.

Aku terkekeh pelan menatap jendela. Beranjak dari sofa yang kududuki untuk balik menuju kamar. Namun tiba-tiba,

TING! TONG!
TING! TONG!
TING! TONG!

Tedengar bunyi bel rumah dengan amat nyaring. Hingga suara seruan pun tak lama terdengar.

"ATELA, ATELA! Ini kami, Nema dan Natu!" teriak seseorang dari luar pintu beriringan dengan bel rumah yang terus berbunyi. Aku kembali tertawa mendengar seruan riuh mereka, segera menuju ruang tamu untuk membukakan pintu.

"ATELAAA!" teriak mereka langsung menghamburkan pelukan padaku. "Kami rindu padamuu!" seru Natu dengan gaya anak kecilnya. Lagi-lagi kutertawa mendengarnya.

Atela's Journal [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang