RUMAH Sakit Darkib. Nama yang kuingat selalu sepanjang perjalanan. Sekarang kuhendak menuju ke sana untuk menengok nenek Mavi. Sebelumnya mampir ke super market terlebih dulu untuk membeli buah-buahan. Aku pikir, selain menjenguk neneknya Mavi di sana, tujuanku juga agar ia bisa kembali berteman denganku. Dengan memberinya hadiah kecil mungkin bisa membuatnya senang. Selesai membeli, aku pun bergegas keluar dan menuju rumah sakit.
Namun sial...
Tak jauh dari super market, tiba-tiba seseorang menyambar paksa plastik buahnya membuatku tersentak. Belum sempat kumenoleh, orang itu lebih dulu kabur pergi.
"EH, COP-" kalimatku seketika tertahan di tenggorokan saat melihat penampakan copet tadi. Ternyata seorang anak kecil dengan pakaian lusuh dan rambutnya yang berantakan. Walau sudah berjarak hampir 10 meter, kutetap bisa melihatnya dengan jeli. Mungkin dia sedang butuh makanan? Tapi kenapa pula harus mencopet.
Aku menghela napas pendek. Terpaksa harus kembali menuju super market untuk membelinya lagi. Beberapa menit kemudian setelah mengumpulkan buah, aku pun segera mengikat plastiknya dan menuju kasir. Namun mendadak kaki kiriku merasakan kehangatan, sedikit pengap. Aku pun menoleh dan menemukan tumpahan susu di septu dan ujung celana jeans. Tak jauh dari sepatuku, tampak seorang anak kecil tengah menatapku polos. Dengan pikiran cepat, kumengira anak itulah yang menumpahkan susu.
Antara kesal dan merasa iba karena mukanya yang imut berkecamuk di dada. Tak mungkin aku akan memarahinya karena hanya hal sepele begini, bukan? Dengan wajah polos plus tak bersalah, ia masih menatapku. Tapi tahu-tahu ia menangis kencang membuat seluruh orang yang berada super market menoleh. "Aduh, mati. Saya harus bagaimana ini, ya Tuhan?!" Sungguh aku tak pandai menangani tangisan anak kecil.
"U-udah cukup ya, Nak. Cup cup cup, jangan nangis lagi. N-nanti gabisa minum cucu lagi, lho." Dengan segenap kemampuan yang kupunya, aku berjongkok dan berusaha untuk menghiburnya.
"HUWEEEEE!" Namun kini justru tangisannya makin kencang. Membuat orang lain pasti mengira kutelah menyikasanya. Ingin kumemaki ini anak, namun takut akan karma datang lagi nantinya.
Beruntung, tak lama seorang ibu-ibu menghampiri kami dan langsung menggendong anak tersebut.
"Aduhh, maaf ya, Mbak. Sepatunya jadi kotor begini. Emang anak saya suka keluyuran," ucapnya merasa bersalah.
"Ah, nggak papa, Bu. Yang kena cuma sedikit, kok," alasanku seraya tertawa kecil.
"Tadi saya tuh sedang sibuk bayar belanjaan di kasir. Tiba-tiba anak saya hilang entah kemana, eh... tahu-tahu di sini. Minta maaf sekali, ya Mbak," ucapnya sekali lagi dengan nada memohon. Aku pun kembali membalas "tak apa" dan merasa bersalah, karena dia yang berusia lebih tua justru memohon pada lebih muda. Bukankah seharusnya tak perlu sampai memohon begini?
Setelah pamit ibu itu pun pergi balik kanan meninggalkanku. Aku tersentak kaget karena tiba-tiba anak itu menjulurkan lidah, menatapku dengan seringaian.
Aku mengerjapkan mata tak percaya. Apa-apaan...? Dia sedang... meledekku?
Aku menghela napas kasar sembari menekuk muka. Walaupun ulah anak kecil lucu nan imut begitu, tetap saja membuatku sebal. Terlebih sepatu ini adalah sepatu termahal pemberian papa. Kurasa kata "tak apa" tadi sudah tidak berlaku lagi saat ini.
Aku kembali mengehela napas lalu balik kanan. Eh...? Hilang! Plastiknya KEMANAA?!
Dengan panik kucelingak-celinguk memerhatikan sekeliling. Lantas tertuju pada seorang ibu-ibu yang tidak terlalu jauh dariku. Ia membawa sekantong plastik buah apel, mirip dengan apa yang kuambil. Dan hanya dia di sini yang membawa kantong plastik apel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atela's Journal [FINISHED]
Ficção Adolescentecover: pinterest, @linart112 Hidup bersama pasangan, bisa mengggenggam tangannya setiap hari, bukankah semua orang menginginkan ending seperti itu? Selalu menampakkan wajah ceria dengan senyun yang merekah di bibir saat menghabiskan waktu bersama. A...