EPS. 17 | BERDUKA

97 28 0
                                    

SUDAH lama harapan itu singgah,
Terukir dalam hati seorang puan,
Mengarungi setiap detik dalam ketenangan,
Tanpa tangan yang terulur untuknya.

Sabar dan tulus adalah teman setia,
Menanti sang biru hingga merayap usia muda,
Hingga kuasa menikmati hasil panen,
dan menengok bunga seruninya.

Namun takdir berkata lain,
Kini beliau hanya mendapati biru mudanya,
bukan sebuah jingga dari emas yang dikarunginya.

Rest in piece, Reisyan Fadwall.
Engkau sangat berjasa dalam hidup cucu anda. Sungguh indah denyut nadimu yang berdegup selama ini, hanya untuk anak kecil berhati besar seperti Mavi.

***

Tak sampai 7 menit, dalam perjalanan menuju ruang darurat pasien tubuh nenek Mavi seketika membeku. Berhenti dari kejang, lantas salah satu tangannya ambruk. Aku yang sedari tadi ikut berlari tambah panik. Pikiran buruk sudah melayang nun jauh disana. Dan akhirnya setelah beberapa menit menunggu di luar ruangan, sang dokter tiba di depan kami. Dia mengatakan bahwa nyawa beliau telah tiada sebelum sampai ke dalam ruangan. Benar saja pikiran negatifku tadi, wanita tua itu sudah meninggalkan kami untuk selamanya.

Selama 2 jam kami menunggu hasil pemeriksaan. Mavi menyuruhku untuk makan siang terlebih dahulu, aku pun menyuruhnya demikian. Namun ia berkali-kali menolak dan terpaksa harus kusuapi. Walau hanya 3 sendok, tapi itu sudah pencapain yang luar biasa. Melihat perjuanganku dalam membujuknya untuk membuka mulut. Aku tahu mood Mavi berubah drastis saat mengetahui neneknya telah tiada. Namun tak perlu sampai menelantarkan dirinya juga, terlebih ini sudah lewat jam makan siang.

Setelah lama menunggu, akhirnya dokter angkat suara. Wanita tua itu kembali menelan racun yang serupa di tubuhnya. Kali ini dosis yang ia telan cukup banyak, mengakibatkan kerusakan di beberapa sel tubuh. Akibatnya tubuh itu mengalami kejang, diikuti sesak napas dan detak jantung yang lemah. Terakhir adalah jangka waktu yang minim bila tubuh tersebut tidak cepat ditangani. Dalam kasus ini, nenek Mavi hanya memerlukan waktu 5 menit untuk segera diselamatkan. Namun perjalanan menuju ruang darurat melebihi skala waktu tersebut.

Pukul 18.19, ruang CCTV.
Selanjutnya kini layar komputer yang akan menjadi saksi. Benda berukuran besar itu menayangkan kejadian pukul 14.46, lorong depan kamar nomor 209. Muncul seorang suster yang sedang mendorong food trolley menuju kamar tersebut. Tak lama sekitar 3 menit kemudian, tiba-tiba terdengar bunyi alarm yang sangat nyaring dari sana. Datanglah beberapa suster dan dokter dengan tergesa, mereka berlari cepat menuju lantai pertama untuk menyelamatkan nyawa pasien tersebut. Namun sepertinya Tuhan sangat merindukan wanita tua itu, hingga tega mengambilnya dari anak yang tak punya siapa-siapa.

Pihak kepolisian memutuskan, tersangka utama insiden tersebut ialah suster yang mebawa makanan tadi, dan juga seluruh orang yang bekerja di dapur rumah sakit. Sudah bisa ditebak bagaimana reaksi yang ditunjukkan mereka, terkejut, takut, panik, sedih, dan tentu saja tidak terima. Aku tak bisa berasumsi bahwa salah satu dari mereka adalah pelakunya. Entah kenapa otak ini selalu saja berpikiran berbeda. Bisa saja pelaku tersebut menyamar menjadi pekerja di dapur dan meletakkan racun tersebut pada makanannya, bukan? Lalu diam-diam ia keluar dari sana dan boom! Orang tersebut menghilang bersamaan dengan nyawa yang tercabut dari tubuh nenek Mavi.

***

Malam hari pukul 8, setelah pemakaman nenek Mavi selesai. Orang yang melayat hanya ada beberapa dokter dan suster. Beruntung, pihak rumah sakit sangat berbaik hati pada Mavi. Merekalah yang menanggung biaya pemakaman dan sebagian pengobatan neneknya. Mengetahui anak tersebut sudah tak memiliki siapapun saat ini. Bahkan keluarga besarnya pun tidak ada yang datang. Atau mungkin ia hanya mempunyai neneknya seorang diri, aku tidak tahu.

Atela's Journal [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang