EPS. 36 | LEBAY?

36 5 0
                                    

BEBERAPA hari kemudian.

Pukul 11 siang, saatnya pelajaran memasak. Kali ini guru kami tidak menyuruh untuk pergi ke ruang tata boga, melainkan tetap di kelas karena hendak membahas ujian minggu depan.

"Ujian praktek tahun ini, Ibu pilih menu seafood sebagai sajian utama dan pie susu sebagai hidangan penutup. Mohon sekretaris dengan ketua kelas untuk membagi kelompoknya," tutur Bu Euma di depan kelas.

Liyun dan para sekretaris pun mulai membuat lintingan kertas untuk menentukan anggota kelompok. Di saat yang sama, aku berdoa penuh kekhidmatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar tak sekelompok dengan Mavi. Dengan penuh kesungguhan dalam menjalani ibadah kali ini, aku memohon agar Tuhan mengabulkan permintaanku.

Lama kuberdoa hingga Liyun menulis namaku di papan tulis, dan saat itulah aku meneriakkan doaku dengan penuh tekanan. Tak ada lagi kelembutan dalam berdoa, kali ini harus gas-pol.

Namun sedetik kemudian ekspresiku berubah ketika nama Mavi tertulis tepat di bawah namaku. Sial! Detik ini juga, aku memaki-maki dalam hati, ribut sendiri dengan melibatkan organ otak dan hati. Tak lama Bu Euma menyuruh kami untuk mendiskusikan makanan yang hendak dibuat bersama anggota kelompok masing-masing. Dengan langkah lesu aku berjalan menuju salah satu meja teman kelompok.

Selama berdiskusi, aku lebih banyak diam dan hanya mendengarkan celotehan teman lain. Beruntung ada salah satu teman yang merupakan murid pandai di kelas selain Mavi. Dengan begitu dialah yang bisa dijadikan sebagai ketua.

"Aku saja yang membawa alat-alatnya," usul salah satu teman kelompok.

"Berarti yang lain cukup bawa bahan-bahan saja," sahut teman lain. Setelah itu semua pun ribut memilih bahan apa saja yang akan dibawa nantinya, hanya aku dan Mavi yang diam membisu.

"Mavi," panggil salah satu teman membuatku ikut menoleh. "Karena Atela yang akan membelikan bahan-bahanmu, sebagai gantinya kamu harus ikut menemaninya belanja. Lagi pula rumah kalian dekat, 'kan? Tak ada masalah yang harus dikhawatirkan," jelasnya membuatku kaget, begitu pula dengan Mavi.

"Ng-nggak perlu, aku sendiri yang-"

"Aku saja yang membeli bagianku," ucap Mavi menyelaku. Tak ada ekspresi apapun yang ditunjukkannya.

"Sungguhan kamu yang akan membeli? Tapi bukankah kamu-"

"Aku bilang aku yang akan membelinya," ucapnya sekali lagi dengan serius, kali ini wajahnya tampak sedikit sebal.

"O-oke, baiklah." Setelah itu dia memberikan secarik kertas berisi bahan-bahan yang harus dibeli Mavi.

Aku mengatupkan rahang sembari menatap meja di depanku. Wajah Mavi sekarang, reaksinya yang menunjukkan ketidaksukaan, kenapa... sangat berbanding terbalik dengan perilaku Mavi yang dulu? Dimana senyum dan tawa yang selama ini ia tunjukkan dengan penuh ketulusan itu...?

***

Pulang sekolah, aku segera menuju ke tempat parkir. Bertemu dengan Pak Yerun dan memintanya agar mampir dulu ke super market. Namun yang kudapati adalah mobil mama membuatku terkejut.

"Hai, Sayang!" seru mama tampak ceria, yang kusambut dengan senyum datar. "Gimana sekolahnya? Apa ada suatu kendala di pelajaranmu?"

Aku menggeleng menjawabnya. "Mampir ke super market dulu ya, Ma. La mau beli keperluan buat ujian praktek," ucapku langsung pada intinya.

"Emm, gimana kalau ke mal saja? Sekalian belanja kebutuhan La. Atau shopping baju saja deh, gimana?" ajak mama dengan mata berbinar.

Aku mengangguk setuju dengan senyum. "Boleh saja, Ma."

Atela's Journal [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang