18-Sebuah rasa

692 55 3
                                    

•••
Dapat di simpulkan, bahwa baikmu karena sebuah rasa yang ada. Yang jelas tak akan kubisa balas secara nyata.
•••

Perempuan yang habis mencuci muka itu merebahkan dirinya di atas kasur yang jelas sangat empuk dan nyaman bila di tempati. Tania melirik jam yang ternyata baru jam 11.30 malam. Ponselnya sedari tadi berbunyi karena ada notif  dari Alena sekadar menanyakan ia sudah sampai di rumah atau belum.

Tania senang, Alena begitu peduli serta perhatian padanya. Saat ini Tania bukan tak mau menginap di rumah Alena. Ia hanya takut, kalau tiba-tiba mamanya datang dan marah-marah tidak jelas.

"Shaka, lagi apa, ya?" entah dari mana, sekilas nama Shaka muncul di otak Tania. Ia tersenyum kecil. Lucu saja kalau mengingat wajah cowok Sunda menyebalkan itu.

Ia meraih ponsel, baru hendak menghubungi Shaka namun Tania di kejutkan dengan datangnya Sani yang berjalan menghampirinya.

"Tania! Mana kunci mobil kamu!" pinta wanita itu, menekan sekaligus memaksa.

Mendudukkan badan, Tania menatap lelah mamanya. "Buat apa, Ma?" Tania berusaha sopan.

"Mulai sekarang kamu gak boleh pakai mobil lagi!"

Tania tertegun, jantungnya berdegup tak terima. Ia memang jarang mambawa mobil. Namun, sampai kapanpun Tania tak akan rela kalau mobil pemberian papanya kala ulang tahun, di ambil oleh Sani.

"Nggak!"

Sani menatap kesal, ia menarik rambut Tania kasar. "Cepetan! Atau saya jual rumah ini!"

"Berengsek!" Tania menyambar sebuah kunci mobil dari dalam laci. Ia memberikan tak iklas pada Sani. Bagaimana ia mau sopan kalau mamanya saja bersikap begini?

Wanita itu menyeringai, ia tersenyum puas. Di genggamnya kunci mobil milik Tania lalu kembali berujar. "Ganti baju! Cepat ikut saya!"

Kali ini, Tania mendelik marah. Ia menggeram penuh kekesalan. Perempuan itu berdiri, menatap Sani nyalang. Mamanya tak pernah puas dengan apa yang dia punya.

"Lo mau jual gue lagi?!"

"Jangan banyak omong!" gertak Sani.

Tania menggeleng tak mengerti, bagaimana caranya ia menyadari mamanya yang sudah hilang kewarasannya ini?

"Gue nggak mau! Gua capek, lo boleh ambil mobil gue. Tapi jangan jual gue lagi!"

Plak.

Sani dengan entengnya menampar pipi Tania hingga wajah itu tertoleh ke samping. Tak merasa puas, wanita itu memukul kepala Tania dan melemparkan Tania ke lantai sampai sikunya menubruk tumpu meja hingga membuat nyeri ke sekujur tubuh. Tania merasa tersetrum seketika.

Tania meringis ngilu memegangi sikunya, ia pun mengusap lututnya yang bertabrakan dengan lantai. Tak hanya itu, Sani dengan lancangnya menendang kepala Tania yang menimbulkan dengung hebat membuat matanya agak memburam.

"MASIH MAU NGELAWAN KAMU, HAH!" teriak Sani tepat di wajah Tania.

"CAPEK BANGET SAYA NGURUSIN ANAK KAYAK KAMU!"

Stres In LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang