•••
Bahkan semesta sama sekali tidak berpihak justru membuat kita berjarak. Sulit sekali mendapat hak bahagia.
•••“Tania?”
Berkali-kali Alena berseru memanggil nama sahabatnya yang sejak dua jam lalu tak keluar dari dalam kamar. Ia sangat khawatir dengan kondisi Tania yang semakin ke sini, justru semakin hancur dan buruk. Sialnya, Alena terlalu lemah untuk melawan Sani.
“Tania ... lo belum makan, gue udah masak. Ke bawah dulu yu kita makan sama-sama,” ujar Alena pelan. Tangan perempuan ber-anak satu itu terus mengetuk pintu berharap Tania mau membukanya.
“Tan, jangan aneh-aneh di dalem. Lo gapapa 'kan?”
“Gue gapapa, Len. Lo makan duluan, gue ga laper.”
Alena menghela napas gusar setelah mendapat jawaban dari Tania.
“Jangan ngelakuin hal yang buat diri lo sakit ya Tan!" seru Alena tegas.
“Iya, gue baik-baik aja.”
“Gue kebawah dulu, kabarin kalo butuh sesuatu,” tak ada sahutan lagi. Alena memutuskan untuk meninggalkan lantai atas. Meskipun ia tidak tau apa yang baru saja terjadi sampai Tania mengurung diri begini. Alena masih takut untuk bertanya.
Di dalam kamar—Tania di telan kegelapan. Tak ada cahaya yang menerangi. Seluruh kamar sengaja Tania gelapkan. Tak ada cahaya rembulan yang masuk karena jendela sengaja ia tutup rapat.
Sejak pulang dari kafe bersama Fadhlan. Tania duduk terdiam di samping kasur, perempuan itu memeluk kedua lutut sambil menangis pilu tanpa suara. Saking takut terdengar Alena, Tania menggigit kuat-kuat bajunya.
'Tania ... lo itu cewek menjijikan.'
Ia terisak hebat sendirian, perasaannya sungguh terluka kala mengingat ucapan Shaka siang tadi. Tak pernah terlintas barang sedikit pun kalimat menyakitkan itu keluar dari mulut Shaka.
Baru kemarin Shaka membuatnya bahagia hanya sekadar bunga tulip, namun sekarang justru di jatuhkan sejatuh-jatuhnya. Semesta sejahat itu merundung dirinya.
“Apa saya nggak berhak bahagia Tuhan?”
“Bahkan, orang yang saya sayang secara nyata menaruh luka,”
“Berapa nyawa yang kau beri untuk saya sampai sulit untuk mati?”
“Untuk apa saya di lahirkan jika hanya di buat menangis terus-terusan?”
“Saya—benar-benar capek dengan semua ini. Tuhan. Tolong, izinkan saya pulang.”
“Papa ... Tania nggak kuat kalau harus bertahan sendirian.”
Perempuan itu meringkuk di lantai yang dingin, kedua tangannya ia tumpukan untuk menjadi alas kepala. Air mata Tania tak berhenti berderai.
“Izinkan saya istirahat Tuhan. Kalau perlu jangan di bangunkan lagi.” setelahnya, mata Tania langsung terpejam di langit malam. Hanya di temani angin yang berembus menusuk tulang.
****
“Ada apaan si? Cerita lah fren,"
Terhitung sepuluh kali Karel bertanya dengan pertanyaan yang sama pada Shaka. Masalahnya, cowok Sunda itu sejak awal datang ke kosan terus-terusan berdiam diri dengan muka yang sudah kusut. Di tanya tak mau menjawab.
“Kurang asupan bokep lo?”
“Berisik anjing!” sentak Shaka kesal.
“Dih lu babi!” sunggut Karel sebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stres In Life
General FictionKita sebatas mengejar bahagia dengan cara sama-sama terluka. ( Warning ⚠ violence, profanity, gay and sexuality 18+) --- "Lama-lama, saya bunuh kamu!" "Arrgghhh." --- "Kalau gue cemburu, namanya gue sayang. Lo mau gue sayang?" --- "Lo mau kemana? Bi...