34- Kalimat menyakitkan

601 43 1
                                    

•••
Yang di percaya adalah ia yang menggores luka paling nyata.
•••

"Gue minta maaf sama kalian, ya. Yang gue lakuin ke Silan emang salah. Tapi gue udah minta maaf ke dia secara langsung."

Aktivitas Pinat dan Tania yang sedang mengemas buku agar masuk ke dalam tas terhenti mendengar penuturan Kiya pada mereka.

Tania mendesah pelan seraya tersenyum hangat. Tangan perempuan itu pun menepuk bahu Kiya dan berucap. "Udah, Ki. Gapapa, lo ga perlu merasa bersalah sama kita. Gue dan Pinat ga ada hak sama sekali buat judge lo. Kita cuma bisa ngasih nasihat aja."

"Iya! Gue juga minta maaf banget sama lo Ki. Karna gue udah bentak lo waktu itu. Abisnya kesel banget gue, selama ini lo ga pernah cerita apapun," Pinat berujar membuat perasaan Kiya sedikit tenang.

"Makanya di antara kita bertiga, kalo ada masalah apapun ya cerita!" lanjut Pinat membuat Tania terpaku.

'Gue ga perlu berbagi luka sama siapapun, Pin.'

Tania tersenyum tipis setelah berkata dalam hati,

"Kelas kan udah beres, gimana kalo kita makan sushi? Gue ada rekomend restoran jepang yang enak di deket kampus," usul Kiya.

"BOLEH BANGET! KEBETULAN GUE BELUM MAKAN DARI LAHIR!" sahut Pinat hiperbola.

"Gimana Tan?" tanya Kiya.

"Gue skip dulu ya?"

"Ah gak asik lo, susah di ajak seneng-seneng!" sambar Pinat bete.

Bukan Tania tak ingin bersenang-senang, justru kesenangan itu yang selalu Tania cari. Namun keadaan tubuhnya sedang kurang enak. Badan ia sakit semua akibat Sani. Tania butuh istirahat sepertinya. Batinnya sudah sakit, tak mungkin Tania membiarkan fisiknya turut sakit juga.

"Gue ikut next time, gimana?"

"Ya udah gapapa, Tan. Kalo gitu gue sama Pinat duluan ya?" ujar Kiya seraya menggenggam lengan Pinat.

"Huh, Tania gak asik," Pinat menjulurkan lidah. Setelahnya mereka berdua pergi keluar kelas.

Ia geleng-geleng, lalu celingak-celinguk mencari keberadaan Fadhlan. Cowok itu tidak masuk kelas pasti karena sibuk organisasinya.

Merogoh tas lalu Tania mengecek ponsel, ternyata tak ada pesan dari Shaka. Pesan yang Tania kirim tadi pagi pun belum mendapat balasan dari lelaki itu.

Perempuan berambut curly itu akhirnya meninggalkan kelas. Ia ingin mencari Shaka, kaki jenjang putihnya terus melangkah sapanjang koridor sampai matanya menemukan Shaka tengah berbincang bersama Farhana di teras fakultas.

"Shaka," ia berseru kencang, tangannya melambai ke udara dengan kaki terus berjalan menghampiri mereka di sana.

Mimik Shaka yang pertama kali Tania tangkap adalah eksperesi datar tanpa senyum. Agak aneh, namun Tania tak menghiraukan hal itu dan langsung berujar.

"Lo udah selesai kelas?"

"Menurut lo?"

Kening Tania mengerut heran, begitupun Farhana yang mendengar jawaban ketus dari Shaka.

"Pulang bareng ya Shak," pinta Tania.

"Gue sibuk, lo naik ojek aja."

Farhana refleks mencubit lengan Shaka. Ia tak suka melihat Shaka begitu pada Tania.

"Lo lagi marahan 'kah berdua?"

"Enggak," jawab Shaka masih ketus. Ia menatap Tania dingin.

"Gue ada salah apa sama lo?" Tania bertanya cepat.

Stres In LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang